oleh : Khaura El-Syada (Ivo)
Judul Buku :
Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis
: Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Cetakan V, November 2011
Tebal : 264 hlm; 20 cm
Seseorang dilahirkan untuk merasakan bagaimana
wajah kehidupan. Ada sebagian orang yang merasakan segala kecukupan, bahkan
lebih. Sebagian orang ini hidup dengan normal, tinggal di rumah berdindingkan
bata atau kayu, makan dan minum dengan pertimbangan gizi dan nutrisi untuk
tubuh, sekolah, mengikuti les, melanjutkan kuliah baru setelah itu mencari
pekerjaan sebagai bentuk kemapanan menuju kedewasaan. Inilah fase kehidupan
secara umum. Namun, di sudut jalanan seringkali terlihat sebagian orang yang
tidak hidup seperti fase kehidupan pada umumnya. Mereka harus mengais rizki
dengan bersusah payah bahkan menjadikan ngamen dan ngemis menjadi
sebuah mata pencaharian. Sebuah keharusan yang dilakukan untuk bertahan hidup.
Terkadang hanya cukup untuk mendapatkan sesuap nasi dan tak terpikirkan lagi
untuk memiliki rumah berdindingkan bata, jikalau rumah kardus sudah dapat
menjadi tempat berteduh maka mereka menyebutnya tempat tinggal walau akan habis
dilahap hujan. Sungguh ironi.
Novel yang berjudul ‘Daun Yang
Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’ ditulis oleh Tere Liye yang juga penulis
buku ‘Hafalan Sholat Delisha’ yang telah difilmkan. Novel ini
menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga kecil, ibu dan dua anaknya yang
hidup serba kekurangan. Keluarga yang bertempat tinggal di sebuah rumah kardus,
sang ibu bekerja serabutan, kedua anaknya, Tania dan Dede mengamen untuk
membantu membiayai kebutuhan hidup.
Berawal dari luka kaki Tania saat
mengamen di Bus kota bersama Dede, mereka bertemu dengan seseorang itu. Seseorang
yang membalut luka kaki Tania dengan sapu tangan putihnya. Tak hanya itu, Seseorang
ini juga membalut masa lalu yang buram dan memberikan janji masa depan yang
lebih baik untuk keluarga kecil ini.
Perlahan dengan halus perasaan cinta
di hati Tania itu tumbuh bahkan sejak rambut Tania masih dikepang dua. Semuanya
mengalir begitu saja. Seperti sekarang, kehidupan keluarga kecil ini sudah
berubah berkat seseorang ini. Tak ada lagi rumah kardus, Tania dan Dede
pun kembali bersekolah, Sang Ibu bahkan mulai membuat usaha kecil-kecilan.
Kehidupan berubah semakin baik dan lebih baik lagi.
Suatu kejadian terjadi, kejadian ini
yang membuat saya menangis haru (baca : menangis bombay) saat membacanya. Saat
sang Ibu meninggalkan kedua bocah kecil itu, Tania dan Dede. Kepada Tania, sang
Ibu banyak berpesan.
“......Berjanjilah, Nak..Kau tak
akan pernah menangis sesulit apapun keadaan yang kau hadapi. Ketahuilah, ini
akan menjadi tangisan Ibu yang terakhir..
Tadi malam Ibu bermimpi ayahmu datang menjemput..Ibu akan pergi..Selamanya! Ya Tuhan, semua TakdirMu baik..Semua kehendakMu adalah yang terbaik.. Dan aku menyerahkan nasib kedua anakku kepadaMu..Kau baik sekali mempertemukan kami dengan ‘seseorang’ sebelum kematianku..Dengan MalaikatMu.
Berjanjilah Nak, Ini akan menjadi tangismu yang terakhir pula.. Kau tak boleh menangis demi siapapun mulai detik ini..Kau tak boleh menangis bahkan demi adikmu sekalipun kecuali, kecuali demi ‘dia’...demi ‘dia’...... “
Tadi malam Ibu bermimpi ayahmu datang menjemput..Ibu akan pergi..Selamanya! Ya Tuhan, semua TakdirMu baik..Semua kehendakMu adalah yang terbaik.. Dan aku menyerahkan nasib kedua anakku kepadaMu..Kau baik sekali mempertemukan kami dengan ‘seseorang’ sebelum kematianku..Dengan MalaikatMu.
Berjanjilah Nak, Ini akan menjadi tangismu yang terakhir pula.. Kau tak boleh menangis demi siapapun mulai detik ini..Kau tak boleh menangis bahkan demi adikmu sekalipun kecuali, kecuali demi ‘dia’...demi ‘dia’...... “
Itulah penggalan pesan Ibu untuk Tania.
Dan setelah itu, mata Ibu terpejam dan tak pernah kembali membuka matanya. Saat
itu si kecil Dede bahkan masih tidak faham kenapa Ibunya harus ditimbun tanah.
Dede ngotot tetap berdiam di pemakaman dan hanya ingin pulang bersama
Ibu yang telah dimakamkan. Dede terus bertanya yang membuat hati Tania semakin
tersayat, tapi Tania berusaha keras menahan air mata karena dia telah berjanji
kepada Ibu. Sungguh alunan katanya menyayat hati seakan ikut merasakan perih.
Bagian cerita yang saya yakin akan membuat para pembacanya syahdu dalam pilu.
Tania dan Dede kini hanya memiliki seseorang
itu. Pada saat pemakaman, dia berpesan kepada keduanya. Pesan yang berhasil
membujuk keduanya untuk pulang meninggalkan pemakaman.
“...Ketahuilah,
Tania dan Dede...Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Dia membiarkan
dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau
lebih dewasa memahami kalimat itu. Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu
artinya. Dan saat kau tahu artinya, semua ini akan terlihat berbeda....”
Kini bersamanya mereka melanjutkan
kehidupan yang rasanya sempat terhenti semenjak Ibu telah tiada. Tania dan Dede
malanjutkan studinya. Semuanya kembali berjalan mengalir, termasuk perasaan
Tania, perasaan suka yang bukan lagi dimiliki oleh anak yang rambutnya berkepang dua. Tania
sudah tumbuh dewasa, pintar dan cantik. Tak ada yang berharap cinta yang tak
bersambut, begitu juga Tania. Namun, kenyataan berkata lain. Seseorang itu
memutuskan akan menikah dengan kekasihnya. Sebuah pernyataan yang menghujam
hati Tania, menorehkan luka terdalam.
Tania yang sedang melanjutkan
studi-nya di Singapura enggan untuk kembali pulang menghadiri pernikahan seseorang
yang dia sayang. Pernyataan itu sudah membuat dadanya terlalu sesak, bagaimana
bisa dia melihat pernikahan yang dia benci di depan matanya? Keputusan Tania
untuk tidak hadir dalam pernikahan itu adalah pemicu awal putusnya komunikasi
dengan dia dan dinginnya hubungan antara keduanya.
Perang dingin yang terjadi tidak
mungkin untuk tidak diakhiri. Pada saat Tania kembali sejenak ke Indonesia untuk memperingati hari tepat 8 tahun setelah kematian Ibu, di saat itulah mereka harus bertemu. Ada kalimat yang harus terucap, ada pihak yang harus mengalah
untuk mengakhiri ketidaknyamanan ini. Sampailah akhirnya pada makam ibu, dan di depan makam
Ibu, Dede secara tidak resmi memimpin kunjungan berempat, Tania, Dede, dan seseorang
itu bersama istrinya.
“Ibu, Kami datang berempat. Delapan
tahun Ibu sudah pergi. Dan ternyata Ibu tak sekalipun datang untuk menjenguk
kami. Itu berarti ada banyak sekali yang Ibu siapkan di sana, bukan seperti
menyiapkan sarapan di kala pagi. Tetapi tak peduli berapa lama lagi Ibu akan
menyiapkan banyak hal di sana, ada satu hal yang akan kami kenang selalu dari
semua ini. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Dede dulu tak mengerti apa maksudnya. Kalimat itu bahkan terdengar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya.
Ibu, Dede hanya berpikir Ibu pergi karena tak sayang lagi pada Dede. Yang bandel, malas disuruh, hanya main melulu. Dede tahu Ibu dulu selalu sayang Kak Tania. Jadi Ibu tak mungkin pergi karena Kak Tania.
Dede ternyata keliru. Ibu pergi bukan karena tak sayang lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu...bahwa hidup harus mengerti..pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami...pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahamanitu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
Kami kecil saat Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan. Takut bercermin pada masa lalu yang getir.
Ibu benar..tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami...dan kami akan menerima.”
Dede dulu tak mengerti apa maksudnya. Kalimat itu bahkan terdengar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya.
Ibu, Dede hanya berpikir Ibu pergi karena tak sayang lagi pada Dede. Yang bandel, malas disuruh, hanya main melulu. Dede tahu Ibu dulu selalu sayang Kak Tania. Jadi Ibu tak mungkin pergi karena Kak Tania.
Dede ternyata keliru. Ibu pergi bukan karena tak sayang lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu...bahwa hidup harus mengerti..pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami...pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahamanitu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
Kami kecil saat Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan. Takut bercermin pada masa lalu yang getir.
Ibu benar..tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami...dan kami akan menerima.”
Namun, ada hal aneh tiba-tiba
terjadi. Hal yang membuat Tania memutuskan untuk segera kembali pulang saat itu
juga. Ada hal yang janggal terjadi pada rumah tangga seseorang itu dan
dia harus turun tangan, ikut campur menyelesaikannya. Seakan ada rahasia besar
yang selama ini tersembunyi dan harus Tania cari kebenarannya. Seolah kembali
membuka peti usang yang telah lama dibuang, dikubur dalam bersama semua rasa,
rasa yang tak bersambut itu, rasa yang hanya bertepuk sebelah tangan, rasa yang
menyebut dirinya cinta.
Cerita dalam novel ini disajikan
dengan keindahan kalimat yang mengalun, siap mengguncang jiwa pembaca, juga
siap menghentakkan pembaca dengan ending yang tak terduga. Dengan alur
maju-mundur yang pas, penulis menyuguhkan sebuah cerita yang dikemas indah.
Sebuah diary kehidupan yang sarat akan makna, banyak hal yang bisa diambil
sebagai pelajaran hidup. Cerita yang hidup, membuat para pembaca terbuai indah.
Sebagai penutup, ada sebuah kalimat
yang saya suka. Kalimat yang pernah dia ucapkan pada Tania.
"Kebaikan itu seperti pesawat
terbang, Tania.
Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.”
Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.”
0 komentar:
Post a Comment