HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

My Way Home : Antara Suka dan Duka



            Libur telah tiba, libur telah tiba...Hatikuuu Gembira....
            Rasanya itu adalah backsound yang tepat untuk liburan kali ini. Aku pernah berjanji bahkan aku tulis di dindingku bahwa “Liburan semster ini aku tidak akan pulang”. Ternyata itu hanya goresan tinta emosi sesaat saja. Tetaplah keinginan pulang membuncah di dada. Apalagi Ibuku akan ke Jakarta, ingin menengok saudaraku yang kemarin terkena musibah, sekaligus menjengukku bersama kakek. Kunjungan ibu kali ini bisa dibilang sekaligus menjemputku, maka rasanya beribu alasan yang untuk tidak pulang lenyap seketika tergantikan oleh lagu ceria yang berdendang.
            Ibu datang. Ibu datang. Saat itu aku masih lelah luar biasa karena semalam baru saja selesai mengikuti serangkaian acara di Bogor. Jadinya keinginan untuk menjemput Ibu dan kakek di stasiun ku urungkan, malahan ibu di antar saudaraku ke kontrakanku. Singkat cerita, aku yang dijemput oleh ibu. Dua hari dua malam ibu menginap di Jakarta. Walaupun tidak sempat mengajaknya berkeliling, aku merasakan senang yang luar biasa sekali. Rasanya sampai meluap-luap. Ayahku dulu juga sudah pernah menengokku di semester satu. Dulu, sudah ku hapus rasa ingin dijenguk, ditengok oleh ayah dan ibu seperti saat masih nyantri karena jarak yang begitu jauh dari rumah, namun ternyata ini terwujud begitu saja dan rasanya sungguh luar biasa.
            Tibalah hari itu, saat aku dan ibu bersiap-siap untuk berangkat, tiket kereta kami jam 12 siang. Saudaraku membantu menyiapkan bekal makanan, aku sibuk merapikan baju-baju di dalam tas dan kakekku sudah siap dengan tas sampingnya sembari duduk santai memandangi jalanan ibu kota. Setelah semua siap, barang-barang dimasukkan ke mobil, kita berpamitan lalu bergegas masuk ke mobil karena kakek sudah menyuruh kami untuk bergerak cepat, padahal itu masih jam 10 lebih. Perjalanan ke stasiun tidak begitu jauh. Walhasil, kita lebih lama menunggu kereta di staisiun, apalagi ada bekal yang ketinggalan di rumah saudaraku sehingga harus merepotkan mereka untuk mengantarkan ke stasiun. Ribet yaa...
            Deng..deng deng... Suara bel kereta dan pengumuman bahwa kereta kami sudah datang. Ini kali pertamaku naik kereta ekonomi. Sebelumnya tidak pernah karena takut jika harus naik kereta ekonomi sendirian. Saat itu ingin mencoba sekaligus mencari yang murah, tidak terlalu menguras kantong. Lagipula ada ibu dan kakek yang menemani di kereta, itu lebih dari cukup. Kabar buruknya adalah saat itu kakek sedang tidak enak badan, dia batuk bertalu-talu tak berjeda. Ah, aku hanya berdo’a semoga kakek sehat dan kuat menempuh perjalanan panjang di kereta ini, 12 jam kita duduk di kereta untuk sampai pada tujuan tersayang.
            Kita duduk di bangku bertiga. Kakek di samping jendela, lalu Ibu dan disusul aku, dudung di ujung. Kursi di kereta ekonomi ini saling berhadapan. Di depan kakek ada seorang pria berumur, dia bekerja di jakarta dan pulang 3 bulan sekali katanya, aku lupa dimana tepatnya tujuan pria itu. Sedangkan dua bangku di sampingnya masih kosong, sehingga aku dan ibu masih bisa berselonjoran kaki. Di samping kami dua tempat duduk saling berhadapan di pisahkan dengan jalan kecil tempat orang untuk berlalu lalang. Tepat di sampingku seorang ibu yang sudah sepuh duduk sendirian dengan leluasa mengambil jatah tempat sebelahnya yang masih kosong, di depannya ada pasangan suami istri yang sudah berumur pula.
            Kereta belum begitu ramai sehingga ada waktu untuk bertukar cerita. Ibu bercerita tujuannya ke jakarta dengan sumringah, apa saja yang dilakukan kemarin dan bercerita bahwa aku sedang berkuliah dan sekarang waktunya mengambil jatah liburan. Rasanya ini adalah perjalanan penuh sukacita bagiku, sama seperti pria berumur di depan kakekku yang juga sedang menempuh perjalanan penuh sukacita karena akan bertemu dengan keluarga tercinta. Ibu tua di sampingku juga bercerita, ternyata kota tujuannya sama dengan kami. Sehingga saling bertanya alamat dan entahlah setelah itu ibu bercerita apa dengannya. Aku tidak banyak mengambil porsi bicara, hanya diam sambil memainkan hp. Ya, ibuku suka bercerita memang. Sesekali aku tersenyum renyah mendengar cerita-cerita itu. Giliran pasangan suami istri itu, mereka pulang ke Yogyakarta dalam suasana duka mendalam, karena si embah  telah tutup usia. Wajah mereka sendu, namun mereka tetap mengulum senyum indah yang menandakan bahwa rasa tabah telah membingkai duka.

            Tak lama kemudian, kereta berhenti di sebuah stasiun, dan dua kursi kosong di depan kami terisi oleh seorang ayah dan anak laki-lakinya yang mungkin masih berumur sekitar 5 tahun lah. Kereta kembali melaju, dari mulai pengamen, orang yang berjualan bermacam-macam barang berlalu lalang di lorong sempit. Ramai sekali seakan pasar telah berpindah tempat ke sini. Aku menyandarkan kepalaku ke pundak ibu, sudah mulai terasa bosan di perjalanan. Aku dan ibu pun mengeluarkan bekal, nyemil, makan buah, menawari orang-orang di sekitar kami untuk makan bersama. Ibu sangat suka berbelanja, maka aktif menawar barang ini itu dengan jurus tawar menawar andalannya. Walhasil, dari mulai buah salak, muris, minuman dan banyak yang lainnya pun dibeli. Adek kecil di depanku menginginkan sebuah mainan, dia merengek minta dibelikan. Tapi harganya mahal, Si ayah membujuknya perlahan. Dia tetap merengek, si penjual pun tidak mau kalah, akhirnya si ayah menolak dengan tegas,  berhasil mengusirnya pergi. Aku pun memberinya buah jeruk kecil untuk ganti maenan, dia pun diam masih dengan gurat kecewa sambil membawa jerukku dan memainkannya. Datang lagi maenan lain, maka Si ayah pun membelikannya, kali ini harganya murah. Si adek sangat gembira, berdiri dan melonjak kegirangan memainkan barang kecil itu di bangkunya.
            Begitulah anak kecil, pikirku. Dia pun kelelahan akhirnya, si ayah berusaha meninabobokkan dia, dengan susah payah akhirnya dia tertidur. Ayah itu pun berdiri memberikan tempatnya untuk tidur anak itu beralaskan bantal sewaan sambil mengipasinya. Lama si ayah berdiri. Inilah pengorbanan, pikirku. Aku hanya bisa terharu melihatnya. Sampai akhirnya ibu berkata padanya agar duduk di bangku kosong samping ibu sepuh yang sudah tertidur lelap.
            Di tengah perjalanan, kakek batuk-batuk lagi dan tak berujung. Wajahnya pucat dan dia mengeluh tidak kuat. Ibu panik, aku yang sedari awal diamanahi tante untuk membawa obat penenang buat kakek berusaha membujuk kakek untuk makan, akhirnya setelah lama kakekpun mau makan. Obat batuk plus obat penenang dari tanteku yang bekerja di apotik ku berikan pada kakek. Lama setelah itu, kakek berangsur tenang dan tertidur dengan pulas. Aku pun juga tertidur, rasa capek masih melekat jelas di tubuhku, mataku pun tak berhasil menahan dan terlelap.
            Akhirnya sudah 12 jam terlewati. Kira-kira jam 2 dini hari kami sampai di stasiun mojokerto. Masku sudah stand by menjemput kami. Karena kondisi kakek yang kurang baik, ibu langsung mengusulkan untuk merujuk kakek ke UGD. Sesampainya di sana, kakek sampai harus mengenakan oksigen. Fiuh, rasa suka yang awalnya ku bawa di perjalanan kini berakhir dengan duka. Kakek pun menjalani rawat inap. Ibu mengambil giliran pertama untuk menjaga kakek. Aku dan masku pulang ke rumah terlebih dulu untuk beristirahat. Di perjalanan pulang ke rumah, terselip do’a untuk kakek agar cepat sembuh. Sesekali mengobrol dengan masku, sedikit melepas rindu sampai akhirnya berhenti di depan rumah. Aku pun merapikan beberapa barang kami, dari mulai baju kotor hingga buah tangan, bersih-bersih diri setelah menempuh 12 jam perjalanan sampai akhirnya rasa lelah tak tertahankan dan membuatku kembali terlelap di kamar, Inilah awal februariku di rumahku yang selalu ku rindu. ^_^


0 komentar:

Post a Comment