Libur telah
tiba, libur telah tiba...Hatikuuu Gembira....
Rasanya itu adalah backsound yang
tepat untuk liburan kali ini. Aku pernah berjanji bahkan aku tulis di dindingku
bahwa “Liburan semster ini aku tidak akan pulang”. Ternyata itu hanya goresan
tinta emosi sesaat saja. Tetaplah keinginan pulang membuncah di dada. Apalagi
Ibuku akan ke Jakarta, ingin menengok saudaraku yang kemarin terkena musibah,
sekaligus menjengukku bersama kakek. Kunjungan ibu kali ini bisa dibilang
sekaligus menjemputku, maka rasanya beribu alasan yang untuk tidak pulang
lenyap seketika tergantikan oleh lagu ceria yang berdendang.
Ibu datang. Ibu datang. Saat itu aku
masih lelah luar biasa karena semalam baru saja selesai mengikuti serangkaian
acara di Bogor. Jadinya keinginan untuk menjemput Ibu dan kakek di stasiun ku
urungkan, malahan ibu di antar saudaraku ke kontrakanku. Singkat cerita, aku
yang dijemput oleh ibu. Dua hari dua malam ibu menginap di Jakarta. Walaupun
tidak sempat mengajaknya berkeliling, aku merasakan senang yang luar biasa
sekali. Rasanya sampai meluap-luap. Ayahku dulu juga sudah pernah menengokku di
semester satu. Dulu, sudah ku hapus rasa ingin dijenguk, ditengok oleh ayah dan
ibu seperti saat masih nyantri karena jarak yang begitu jauh dari rumah, namun
ternyata ini terwujud begitu saja dan rasanya sungguh luar biasa.
Tibalah hari itu, saat aku dan ibu
bersiap-siap untuk berangkat, tiket kereta kami jam 12 siang. Saudaraku
membantu menyiapkan bekal makanan, aku sibuk merapikan baju-baju di dalam tas
dan kakekku sudah siap dengan tas sampingnya sembari duduk santai memandangi
jalanan ibu kota. Setelah semua siap, barang-barang dimasukkan ke mobil, kita
berpamitan lalu bergegas masuk ke mobil karena kakek sudah menyuruh kami untuk
bergerak cepat, padahal itu masih jam 10 lebih. Perjalanan ke stasiun tidak
begitu jauh. Walhasil, kita lebih lama menunggu kereta di staisiun, apalagi ada
bekal yang ketinggalan di rumah saudaraku sehingga harus merepotkan mereka
untuk mengantarkan ke stasiun. Ribet yaa...
Deng..deng deng... Suara bel kereta
dan pengumuman bahwa kereta kami sudah datang. Ini kali pertamaku naik kereta
ekonomi. Sebelumnya tidak pernah karena takut jika harus naik kereta ekonomi
sendirian. Saat itu ingin mencoba sekaligus mencari yang murah, tidak terlalu
menguras kantong. Lagipula ada ibu dan kakek yang menemani di kereta, itu lebih
dari cukup. Kabar buruknya adalah saat itu kakek sedang tidak enak badan, dia
batuk bertalu-talu tak berjeda. Ah, aku hanya berdo’a semoga kakek sehat dan
kuat menempuh perjalanan panjang di kereta ini, 12 jam kita duduk di kereta
untuk sampai pada tujuan tersayang.
Kita duduk di bangku bertiga. Kakek
di samping jendela, lalu Ibu dan disusul aku, dudung di ujung. Kursi di kereta
ekonomi ini saling berhadapan. Di depan kakek ada seorang pria berumur, dia
bekerja di jakarta dan pulang 3 bulan sekali katanya, aku lupa dimana tepatnya
tujuan pria itu. Sedangkan dua bangku di sampingnya masih kosong, sehingga aku
dan ibu masih bisa berselonjoran kaki. Di samping kami dua tempat duduk saling
berhadapan di pisahkan dengan jalan kecil tempat orang untuk berlalu lalang. Tepat
di sampingku seorang ibu yang sudah sepuh duduk sendirian dengan leluasa
mengambil jatah tempat sebelahnya yang masih kosong, di depannya ada pasangan
suami istri yang sudah berumur pula.
Kereta belum begitu ramai sehingga
ada waktu untuk bertukar cerita. Ibu bercerita tujuannya ke jakarta dengan
sumringah, apa saja yang dilakukan kemarin dan bercerita bahwa aku sedang
berkuliah dan sekarang waktunya mengambil jatah liburan. Rasanya ini adalah
perjalanan penuh sukacita bagiku, sama seperti pria berumur di depan kakekku
yang juga sedang menempuh perjalanan penuh sukacita karena akan bertemu dengan
keluarga tercinta. Ibu tua di sampingku juga bercerita, ternyata kota tujuannya
sama dengan kami. Sehingga saling bertanya alamat dan entahlah setelah itu ibu
bercerita apa dengannya. Aku tidak banyak mengambil porsi bicara, hanya diam
sambil memainkan hp. Ya, ibuku suka bercerita memang. Sesekali aku tersenyum
renyah mendengar cerita-cerita itu. Giliran pasangan suami istri itu, mereka
pulang ke Yogyakarta dalam suasana duka mendalam, karena si embah telah tutup usia. Wajah mereka sendu, namun
mereka tetap mengulum senyum indah yang menandakan bahwa rasa tabah telah
membingkai duka.
Tak lama kemudian, kereta berhenti
di sebuah stasiun, dan dua kursi kosong di depan kami terisi oleh seorang ayah
dan anak laki-lakinya yang mungkin masih berumur sekitar 5 tahun lah. Kereta
kembali melaju, dari mulai pengamen, orang yang berjualan bermacam-macam barang
berlalu lalang di lorong sempit. Ramai sekali seakan pasar telah berpindah
tempat ke sini. Aku menyandarkan kepalaku ke pundak ibu, sudah mulai terasa
bosan di perjalanan. Aku dan ibu pun mengeluarkan bekal, nyemil, makan
buah, menawari orang-orang di sekitar kami untuk makan bersama. Ibu sangat suka
berbelanja, maka aktif menawar barang ini itu dengan jurus tawar menawar
andalannya. Walhasil, dari mulai buah salak, muris, minuman dan banyak yang
lainnya pun dibeli. Adek kecil di depanku menginginkan sebuah mainan, dia
merengek minta dibelikan. Tapi harganya mahal, Si ayah membujuknya perlahan. Dia
tetap merengek, si penjual pun tidak mau kalah, akhirnya si ayah menolak dengan
tegas, berhasil mengusirnya pergi. Aku pun
memberinya buah jeruk kecil untuk ganti maenan, dia pun diam masih dengan gurat
kecewa sambil membawa jerukku dan memainkannya. Datang lagi maenan lain, maka
Si ayah pun membelikannya, kali ini harganya murah. Si adek sangat gembira,
berdiri dan melonjak kegirangan memainkan barang kecil itu di bangkunya.
Begitulah anak kecil, pikirku. Dia
pun kelelahan akhirnya, si ayah berusaha meninabobokkan dia, dengan susah payah
akhirnya dia tertidur. Ayah itu pun berdiri memberikan tempatnya untuk tidur
anak itu beralaskan bantal sewaan sambil mengipasinya. Lama si ayah berdiri. Inilah
pengorbanan, pikirku. Aku hanya bisa terharu melihatnya. Sampai akhirnya ibu
berkata padanya agar duduk di bangku kosong samping ibu sepuh yang sudah
tertidur lelap.
Di tengah perjalanan, kakek
batuk-batuk lagi dan tak berujung. Wajahnya pucat dan dia mengeluh tidak kuat.
Ibu panik, aku yang sedari awal diamanahi tante untuk membawa obat penenang
buat kakek berusaha membujuk kakek untuk makan, akhirnya setelah lama kakekpun
mau makan. Obat batuk plus obat penenang dari tanteku yang bekerja di apotik ku
berikan pada kakek. Lama setelah itu, kakek berangsur tenang dan tertidur
dengan pulas. Aku pun juga tertidur, rasa capek masih melekat jelas di tubuhku,
mataku pun tak berhasil menahan dan terlelap.
Akhirnya sudah 12 jam terlewati. Kira-kira
jam 2 dini hari kami sampai di stasiun mojokerto. Masku sudah stand by
menjemput kami. Karena kondisi kakek yang kurang baik, ibu langsung mengusulkan
untuk merujuk kakek ke UGD. Sesampainya di sana, kakek sampai harus mengenakan
oksigen. Fiuh, rasa suka yang awalnya ku bawa di perjalanan kini berakhir
dengan duka. Kakek pun menjalani rawat inap. Ibu mengambil giliran pertama
untuk menjaga kakek. Aku dan masku pulang ke rumah terlebih dulu untuk
beristirahat. Di perjalanan pulang ke rumah, terselip do’a untuk kakek agar
cepat sembuh. Sesekali mengobrol dengan masku, sedikit melepas rindu sampai
akhirnya berhenti di depan rumah. Aku pun merapikan beberapa barang kami, dari
mulai baju kotor hingga buah tangan, bersih-bersih diri setelah menempuh 12 jam
perjalanan sampai akhirnya rasa lelah tak tertahankan dan membuatku kembali
terlelap di kamar, Inilah awal februariku di rumahku yang selalu ku rindu. ^_^
0 komentar:
Post a Comment