Ini bukan cerpen pertama yang aku buat memang. Tapi ini adalah cerpen yang aku buat dengan serius untuk karya dalam mentoring FLP. Semua nama dan kejadian dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka. Di tunggu kritik dan saran yang membangun agar karya-karya selanjutnya semakin bagus.^_^
"Bingkai
Cinta Fisika"
Setelah berkali-kali Salwa mematikan
hp-nya yang sedang berdering, Akhirnya Salwa mengangkat telpon itu. Di kontak
itu ada nama ‘Fikri’. Siapa ini? Salwa merasa tidak ada teman kuliah ataupun
saudara yang bernama Fikri.
“Assalamu’alaikum, kenapa begitu
lama menjawab telponku? Aku tunggu di gerbang sekarang,”
Ucap Lelaki itu dari seberang.
Sesaat Salwa terdiam, terkejut
mendengar suara yang tak lagi asing di telinganya. Suara itu, suara yang
sebenarnya ia rindu padanya, tapi apa daya? Salwa tidak rela jika rindu ini
tetap terpelihara di hatinya sampai nanti, jika telah tiba waktu yang tepat.
“Halo, Salwa,
Apa kau di sana? Aku tunggu sekarang, waktuku tidak banyak,” Ucap Lelaki itu lagi.
“Wa’alaikumsalam. Oh, Iya. Aku akan segera ke sana.” Salwa bergegas berdiri dari
tempat duduknya meninggalkan kedua temannya yang sedang asyik menikmati
gado-gado di kantin kampus. Lelaki itu langsung menutup telpon begitu saja,
membuat hati Salwa semakin tidak karuan.
Lelaki itu, orang yang sangat dia
cintai dulu. Saat dia masih menjadi siswi ‘putih abu-abu’. Ah, jantungnya
semakin berdebar tak karuan. Pikiran Salwa berkecamuk, “Kenapa Lelaki itu
datang tiba-tiba menghampiriku” batin Salwa. Tangannya berkeringat, jantungnya
berdegup kencang, dia mencoba membenarkan kerudung dan gamis birunya yang
terlihat kurang rapi.
“Ini janjiku,” Kata lelaki itu
sambil menyodorkan sebuah buku dan tidak menatap Salwa sedikitpun.
“Buku apa ini?”
“Ini, buku pertama yang aku
terbitkan. Aku hanya ingin menepati janjiku, ” Lelaki itu mengalihkan
pandangannya sembari membenarkan letak kacamatanya.
“Bagiku, janji itu sudah tak lagi
berlaku. Kau tidak perlu sampai begini susah, bahkan datang mengantarnya
sendiri.”
“Tidak, janji tetaplah janji.
Bagiku, itu tetap berlaku. Aku pamit.”
“Tunggu, apa kau datang ke sini
hanya untuk memberiku ini?”
“Iya,” Sahut lelaki itu. Bahkan tanpa
menoleh sedikitpun. Dia berlalu begitu saja tanpa menanyakan kabar ataupun
sedikit basa-basi. Salwa memandanginya sampai tak ada lagi bayang yang tersisa
dan melihat buku yang ia pegang sekarang, ‘Kau Menyaingi Indahnya Pelangi’.
Apa ini? Novelkah? Salwa bergegas kembali ke kantin kampus sembari memegang
buku itu erat-erat.