HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

'Bingkai Cinta Fisika'

Ini bukan cerpen pertama yang aku buat memang. Tapi ini adalah cerpen yang aku buat dengan serius untuk karya dalam mentoring FLP. Semua nama dan kejadian dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka. Di tunggu kritik dan saran yang membangun agar karya-karya selanjutnya semakin bagus.^_^

"Bingkai Cinta Fisika"


            Setelah berkali-kali Salwa mematikan hp-nya yang sedang berdering, Akhirnya Salwa mengangkat telpon itu. Di kontak itu ada nama ‘Fikri’. Siapa ini? Salwa merasa tidak ada teman kuliah ataupun saudara yang bernama Fikri.
           “Assalamu’alaikum, kenapa begitu lama menjawab telponku? Aku tunggu di gerbang sekarang,” Ucap Lelaki itu dari seberang.
            Sesaat Salwa terdiam, terkejut mendengar suara yang tak lagi asing di telinganya. Suara itu, suara yang sebenarnya ia rindu padanya, tapi apa daya? Salwa tidak rela jika rindu ini tetap terpelihara di hatinya sampai nanti, jika telah tiba waktu yang tepat.
            “Halo, Salwa, Apa kau di sana? Aku tunggu sekarang, waktuku tidak banyak,” Ucap Lelaki itu lagi.
         “Wa’alaikumsalam. Oh, Iya. Aku akan segera ke sana.” Salwa bergegas berdiri dari tempat duduknya meninggalkan kedua temannya yang sedang asyik menikmati gado-gado di kantin kampus. Lelaki itu langsung menutup telpon begitu saja, membuat hati Salwa semakin tidak karuan.
        Lelaki itu, orang yang sangat dia cintai dulu. Saat dia masih menjadi siswi ‘putih abu-abu’. Ah, jantungnya semakin berdebar tak karuan. Pikiran Salwa berkecamuk, “Kenapa Lelaki itu datang tiba-tiba menghampiriku” batin Salwa. Tangannya berkeringat, jantungnya berdegup kencang, dia mencoba membenarkan kerudung dan gamis birunya yang terlihat kurang rapi.
            “Ini janjiku,” Kata lelaki itu sambil menyodorkan sebuah buku dan tidak menatap Salwa sedikitpun.
            “Buku apa ini?”
          “Ini, buku pertama yang aku terbitkan. Aku hanya ingin menepati janjiku, ” Lelaki itu mengalihkan pandangannya sembari membenarkan letak kacamatanya.
      “Bagiku, janji itu sudah tak lagi berlaku. Kau tidak perlu sampai begini susah, bahkan datang mengantarnya sendiri.”
            “Tidak, janji tetaplah janji. Bagiku, itu tetap berlaku. Aku pamit.”
            “Tunggu, apa kau datang ke sini hanya untuk memberiku ini?”
            “Iya,” Sahut lelaki itu. Bahkan tanpa menoleh sedikitpun. Dia berlalu begitu saja tanpa menanyakan kabar ataupun sedikit basa-basi. Salwa memandanginya sampai tak ada lagi bayang yang tersisa dan melihat buku yang ia pegang sekarang, ‘Kau Menyaingi Indahnya Pelangi’. Apa ini? Novelkah? Salwa bergegas kembali ke kantin kampus sembari memegang buku itu erat-erat.


***
            Nadra, kakak sepupu yang satu sekolah dengan Salwa ini memberikan sebuah nomer HP seseorang sembari berpesan,
            “Jika nanti kau ada kesulitan dalam belajar fisika, kau bisa menanyakannya kepada Si empu nomer ini. Namanya Fikri, tau kan?” Ucapnya seperti sebuah petuah terakhir sebelum dia menanggalkan gelar ‘siswa’nya.
            “Aku tidak mengenalnya. Tidak bisakah mbak saja yang mengajariku seperti dulu. Aku takut nanti nilai fisika-ku semakin buruk,” Sahut Salwa, pilu. Namun, Salwa tetap menyimpan baik-baik nomer itu dalam kontak hp-nya.
            “Tenang saja, aku sudah bilang bahwa dia harus menjaga adikku ini dan mengajarinya. Hanya Fisika yang memburuk, itu bukan suatu hal yang perlu dikhawatirkan kok, nilai pelajaranmu yang lain sudah terlalu tinggi, ” Ucapnya sembari mengulum senyum dan mencubit genit pipi Salwa.
          Nadra pun berlalu menghampiri beberapa temannya, tertawa bersama. Ah, pemandangan itu membuat iri Salwa, tak bisakah waktu berjalan cepat dan dia bisa menanggalkan seragam ‘siswa’-nya.
***
          “Hai, Salwa,” Sapa seseorang yang telah berdiri tepat di sampingnya.
         “Iya, ada apa?” Salwa menoleh memandangi sosok tinggi tegap itu, sepertinya orang ini sangat familiar.
          “Sepupu Mbak Nadra ya, aku Ryan, adik bimbingan Mbak Nadra.”
       “Oh, iya. Salam kenal Mas,” Sapa Salwa hormat melihat badge kelas-nya berwarna merah, kakak kelasnya.
      “Sedang belajar fisika ya, aku melihatmu begitu kesulitan, bahkan terlihat hampir frustasi,” Ryan mengulum senyumnya.
         “Ah, apa begitu kelihatan kalau aku sedang frustasi?” Salwa pun ikut tersenyum sambil menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Malu.
            “Prestasi ku dalam hal fisika cukup bagus. Bisa ku bantu, sini” Dia langsung mengambil buku Salwa dan duduk di sampingnya. Dengan bahasa yang sangat sederhana, Ryan menjelaskan fisika seperti sedang bercerita. Salwa mengangguk paham dan mulai berlatih mengerjakan beberapa soal. Ryan menemaninya sangat lama, sampai akhirnya mereka berpisah di depan perpustakaan.

            Waktu terus bergulir, menjadi suatu kebiasaan Salwa untuk datang ke perpustakaan dan mencari Ryan. Mereka bertukar pikiran, saling mengajukan pendapat. Bahkan hampir setiap hari, kadang tak hanya fisika yang mereka bicarakan, dari mulai sisi hidup yang paling kecil sampai gambaran masa depan menjadi bahan obrolan rutin mereka disudut perpustakaan itu.
            Sampai suatu saat,
            “Inti-inti yang tidak stabil ini memancarkan sinar radioaktif untuk menjadi inti yang stabil, ” Kemudian dia berhenti menjelaskan.
        “Ah, tidak terlalu susah untuk mempelajari bab ini, kan? Boleh aku menanyakan hal lain?” Ryan berkata sambil memandangi Salwa syahdu.
            “Em, baiklah. Apa?” Salwa menutup bukunya.
           “Aku ingin kamu menjadi orang yang spesial dalam hidupku,” Singkat. Hanya itu yang dia ucapkan dan memandang lekat-lekat mata coklat Salwa.
            “Em, Mas Ryan serius? Ah, Mas Ryan pasti bercanda. Mas pasti mau menggodaku lagi ya.” Salwa berusaha menenangkan hati yang terkejut dan mencairkan suasana.
            “Apa mimik wajahku benar-benar tidak ada kesan serius? Tidak hanya spesial, tapi juga istimewa.”
            Salwa hanya bisa diam. Entah, dia bingung harus berkata apa.
           “Sudah hampir bel masuk. Aku pergi dulu.” Ryan tetap dengan gayanya yang dingin berlalu begitu saja, bahkan tanpa menunggu jawaban Salwa. Bak seorang yang linglung, Salwa kembali ke kelas. Berusaha tetap mengikuti pelajaran dengan baik walaupun pikirannya telah melayang, entah kemana.
***
            Sejak Saat itu, semuanya mulai berubah. Dia yang dingin, kini begitu hangat. Bahkan dia yang begitu serius bisa begitu lucu di depan Salwa. Salwa pun merasakan atmosfer yang berbeda. Seakan-akan Ryan ingin berkata bahwa inilah aku, sosokku yang sebenarnya. Hangat.
            Salwa tidak pernah memberikan jawaban apapun. Tapi, semuanya berjalan begitu saja. Tidak ada kegiatan yang berbeda sebenarnya. Mereka tidak pernah jalan-jalan berdua di waktu luang ataupun saling ber-sms atau ber-telpon ria, karena faktanya mereka berdua tidak pernah  bertukar nomer telepon.
            “Apa kamu begitu suka membaca?” Tanya Ryan saat Salwa sedang asyik membaca sebuah buku.
           “Ah, Maaf. Aku tidak tau kalau mas Ryan sudah datang. Apa sudah lama duduk di sini?” Salwa baru menyadari kedatangan Ryan.
            Ryan hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
            “Aku lebih suka menulis daripada membaca, terkesan lebih produktif.”
            “Oh ya, kalau begitu tuliskan untukku satu buku.”
            “Em, buku apa?”
        “Buku apa saja, mungkin tentang kita atau yang lebih serius tentang fisika. Aku ingin membaca tulisanmu dalam bentuk buku. Setelah itu aku baru percaya, kalau kamu benar-benar produktif”
            “Baiklah. Aku janji.” Ryan menjawabnya dengan begitu serius dan bergaya meletakkan telapaknya di atas kepala Salwa.
***
            Sekolah, tempat mereka bertemu. Mereka berangkat bersama dan pulang bersama. Itu saja. Hampir 1 bulan mereka selalu begini.
            Rasa itu mulai tumbuh di hati Salwa. Pelan tapi pasti bak kuncup bunga yang mulai bermekaran. Tapi aneh, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan, bukan ini yang dia mau. Tapi apa? Salwa pun tak tentu dengan perasaannya sendiri.
            “Salwa, sejak kapan jadian? ”
            “Salwa, pajak jadiannya lho, awas nanti nggak langgeng kalo nggak segera bayar pajak.”
            “Salwa, sekali dayung langsung dapet ikan segar.”
         Teman-teman Salwa mulai sering menggoda ini itu. Salwa jengah dengan olokan dari teman-temannya. Memang, baru kali pertama dia sedekat ini dengan seorang laki-laki. Pernah sekali menggoda Salwa di depan Ryan. Tapi sedikitpun tidak ada ekspresi yang berarti.
         Salwa jadi sering berpikir, “apakah ini yang namanya pacaran? Ah, tapi aku tidak seperti teman-teman yang lain. Memang dekat, tapi mulai ada rasa ingin saling memiliki. Rasa rindu, rasa ingin selalu berjumpa. Halalkah rasa ini?” Batinnya dalam hati.
        Salwa bingung, beberapa kali saat bersama Ryan dia ingin menyampaikannya tapi lidah serasa kelu. Tak ada yang bisa terucap saat melihat wajahnya yang teduh. Apalagi sekarang Ryan selalu ada buatnya, sesibuka apapun dirinya.
Sampai suatu saat, hari ke – 39 sejak Ryan mengutarakannya di perpustakaan.
           “Mas, boleh aku bicara sesuatu.” Dengan hati-hati Salwa mencoba untuk menyampaikan isi batinnya.
            “Apa?” Ryan memandangnya.
        Ah, Mata itu selalu bisa membuat dirinya terbius. Salwa berusaha menguasai dirinya,
       “Sebenarnya apa yang kita lakukan? Pacaran kah? Kita dekat, bahkan semakin hari semakin dekat. Kadang ada rasa mengganjal, bukan seperti ini yang aku mau,” Ryan semakin menatap mata coklatnya lekat-lekat sembari tersenyum misterius.
           “Aku takut karena sedikit banyak aku mulai suka dan terbiasa dengan hubungan ini. Sekali lagi bukan ini yang aku inginkan,” Salwa menunduk. Takut akan mengecewakan orang yang ada di depannya ini.
        “Aku tau,” Jawab Ryan, dia kini memandangi eloknya langit biru. Salwa mendongakkan kepala, melihat Ryan penuh arti.
            “Maafkan aku, baiklah mungkin ini harus berakhir. Sebelum akan semakin sulit untuk diakhiri.” Ryan mengatakannya. Tegas namun tetap hangat.
            “Jadilah tetap seperti ini.” Ryan berdiri dari tempat duduk dan memberiku sebuah kotak kecil berisi bros kupu-kupu dengan tulisan namaku.
            “Apa ini?” Salwa mendongak memandang mata hitam itu.
           “Hadiah untukmu. Simpanlah. Tidak lama lagi aku akan ujian akhir. Doakan aku ya. Aku pergi dulu.” Ryan berlalu begitu saja sebelum Salwa sempat mengucapkan terima kasih.

          Sejak saat itu, semuanya kembali seperti semula, bahkan seperti saat dia belum mengenal Ryan.
***
            “Innalillahi wa inna ilahi Roji’un, Semalam Ayah Salwa meninggal dunia karena kecelakaan mobil” Kabar itu menyebar bak harum parfum di sekolah 1 hari sebelum perayaan wisuda.
          Teman sekelas, se-organisasi bahkan para guru ikut takziyah. Begitupun Ryan. Dia ikut dalam rombongan untuk menyampaikan bela sungkawa.

            Hari itu, Rumah Salwa lebih ramai dari biasanya. Bukan, bukan karena ada pesta perayaan, namun karena banyak yang datang untuk ikut berduka, mengatarkan nyawa Ayahanda Salwa. Salwa berdiri di samping Ibu dan adik perempuannya. Beberapa kali Sang Ibu memeluk jenazah almarhum. Wajah Ibu sendu menahan air mata yang hampir kering. Dia terlihat berusaha menegarkan ibunya, merelakan kepergian Ayahanda tercinta.
            Nadra juga ikut datang menguatkan Salwa. Ya, Di sisi lain, Salwa memang butuh tempat bersandar. Tapi Dia adalah anak pertama. Dia merasa harus tegar, dapat menenangkan kepiluan ibunya.
        Satu persatu teman dan sanak saudara datang mengucapkan belasungkawa, ikut menabahkan keluarga yang ditinggalkan. Salwa menyalami mereka dan mengucapkan terima kasih. Ibunya hanya bisa menangis pilu memeluk adiknya yang masih berusia 8 tahun. Tiba-tiba matanya bertemu dengan mata hitam itu. Tidak ada kata yang diucapkan. Mereka saling pandang cukup lama, seakan Ryan ingin berkata melalui pandangannya, memberi kekuatan melalui tatapan tajamnya kepada Salwa. Salwa menunduk pilu. Air mata mulai menetes, pertahanannya ambruk. Dia pun terjatuh dalam pelukan Nadra, sepupu yang memang sangat dekat dengannya karena mereka seringkali saling berkeluh kesah bersama.
       Sebuah episode kehidupan yang begitu berat bagi Salwa, dimana dia telah kehilangan orang yang sangat disayanginya. Ayahanda, yang siap sedia memberikan apa saja demi kebahagiaan putrinya, kini telah tiada.
            Sebuah episode kehidupan yang membuatnya semakin dewasa.
***
            Esok hari di sekolah, wisuda kakak kelas Salwa termasuk Ryan. Ya, Ryan berhasil menjadi Siswa terbaik. Memang prestasinya sungguh luar biasa, apalagi di bidang fisika. Dia menjuarai beberapa lomba, seringkali menjadi juara kelas. Suasana sangat bahagia, sebiru langit yang saat itu berwarna ceria. Semuanya berbahagia, tak berhenti mengucap syukur. Atmosfir yang berbeda dengan rumah Salwa yang masih menyimpan duka terdalam, Itulah fase kehidupan yang berbeda untuk tiap insan.
         Tapi, berbeda dengan Ryan. Wajahnya tak sebahagia teman-temannya. Dia hanya sesekali tersenyum. Masih ada awan duka di wajah Ryan, awan duka yang dia bawa dari rumah Salwa.
***
            Kehidupan Salwa berubah sejak itu. Dia harus membantu Ibunya sebagai kepala keluarga. Tak hanya sekolah kini kewajibannya tapi juga membantu membiayai keluarga. Suatu langkah yang berat memang, apalagi dia sekarang duduk di bangku terkahir masa SMA. Inilah lembaran episode baru dalam hidupnya. Dia berusaha menikmatinya, langkah demi langkah.
            Tidak. Tidak ada rasa sesal dilahirkan sebagai anak pertama, Dia merasa memiliki kesempatan berharga untuk mandiri. Bahkan kuliah pun nantinya harus berusaha untuk membiayainya sendiri. Maka beasiswa adalah jalan terakhirnya. Usaha keras dia lakukan agar semuanya bisa terwujud dan dapat membahagiakan ibunya. Apalagi adiknya juga membutuhkan biaya untuk sekolah.
            Ya, doa Salwa terwujud. Setalah lulus dari SMA, walaupun dia bukan siswi terbaik layaknya Ryan, tapi dia berhasil menerima beasiswa di salah satu Universitas Negeri di Bandung, mengambil jurusan ‘Kedokteran’.  Jauh memang dari rumah. Tapi Sang Ibu rela melepasnya demi cita-cita anak gadisnya itu dan demi masa depan yang lebih menjanjikan.
***
            Di kantin kampus. Salwa bersegera melanjutkan makanannya sembari melihat buku dari Ryan. Ryan jauh-jauh datang dari Surabaya, hanya untuk memberinya ini. Dan saat dia membuka buku itu, ada selembar kertas berbingkai jatuh tepat di atas kakinya.

“Fisika itu sangat rumit, penuh dengan rumus. Tapi rumus-rumus itulah yang mengenalkanku kepadamu.
Rumus itu yang sekarang membawa langkahku datang kemari. Membawa segenggam harapan ingin menggenapkan separuh agama ini agar bisa lebih stabil dalam menjalani hidup, berdua.
Salwa, Maukah kau menikah denganku dan Menjadi Ibu dari anak-anakku kelak?
                                                                        ~ Ryan ~

            Sangat terkejut dia membaca Surat berbingkai biru itu. Tiba-tiba telpon berdering dari Nadra.
            “Assalamu’alaikum, sayangku.”
            “Wa’alaikusalam, iya Mbak Nadra. Ada apa?”
            “Bagaimana kabarmu?”
            “Baik, mbak. Kabar mbak Nadra dan Mas Faris sendiri gimana?”
          Alhamdulillah, baik. Salwa, kau sudah menerima buku itu kan? Aku ingin menemuimu mengenai buku yang telah kau terima itu. Nanti malam aku akan datang ke tempatmu bakda isya’. Tunggu aku ya, sayang. Telepon itu langsung ditutup.
            Salwa lemas. Rasanya tak ada lagi daya. Ini begitu tiba-tiba.
***
            “Dia mengatakannya kepadaku secara gamblang ingin melamarmu, Kak Nadra langsung membuka percakapan kami sambil minum teh hangat yang telah dibuat Salwa.
            “Tapi, mbak. Aku masih harus praktik co-assistant di rumah sakit. Masih 1 tahun lagi aku baru akan diwisuda dan benar-benar menjadi seorang dokter.” Sahut Salwa.
            “Berarti kau tidak mempermasalahkan ‘orang yang melamar’ bukan?” Nadra memandangku lekat, seolah sedang mencari kejujuran di mataku.
            “Aku ingin bertanya satu hal?Apa kau siap?jika iya, tidak perlu bingung masalah waktu. Aku tau siapa dirimu. Apalagi calon yang melamarmu benar-benar baik, dari sisi agama maupun ilmunya dan juga cukup materi. Sholat istikhoroh saja untuk memantapkan.”
            Salwa hanya terdiam. Tak ada lagi kata yang bisa ia ucapkan.
***
            “Aku siap,” Entah dapat kekuatan darimana. Salwa menjawabnya mantap.
            “Kamu serius?tidak perlu mempertimbangkannya lagi?”
            “Iya, 2 minggu lagi aku ada libur. Jadi, aku rasa itu waktu yang tepat. Aku sempat mengatakannya kepada ibu kemarin via telepon dan Ibu setuju sekaligus memberikan kuasa kepada Mbak Nadra untuk turut mempersiapkannya.”
      “Subhanallah, akhirnya adikku ini akan menyusulku. Nanti Mas Faris juga akan membantu mempersiapkan semuanya.”
***
            2 minggu adalah waktu yang terlalu singkat memang untuk menyiapkan sebuah pernikahan sakral ini. Tapi tidak ada pilihan lain, bukannya hal baik tidak boleh ditunda-tunda dan sebaiknya disegerakan.
            Semua telah diurus oleh Mbak Nadra dan suaminya, Mas Faris. Akad nikah akan dilangsungkan di Salatiga. Rumah Salwa.
            Setelah pertemuan di kampus saat itu, tak pernah sedikitpun mereka berkomunikasi lagi apalagi bertemu. Salwa terlalu sibuk dengan kegiatan kampusnya, mengurus ini itu sebelum pulang ke Salatiga.
           
            Dan inilah suasana di rumah Salwa. Bunga-bunga telah menghiasi setiap sudut ruangan. Suasana di rumah itu serba hijau. Dari mulai kursi, hiasan dinding dan toples-toples makanan. Ini sesuai permintaan Salwa yang menginginkan suasana hijau. Rumah begitu ramai dengan kehadiran teman dan sanak keluarga.
            Bagi para undangan laki-laki langsung menuju masjid di dekat rumah Salwa untuk ikut menyaksikan akad nikah dan tamu perempuan tetap di rumah menunggu proses akad nikah selesai dan menunggu mempelai pria yang akan datang bersama rombongannya ke rumah Salwa.
            Akad berlangsung sangat khidmat. Proses ini begitu cepat dan mudah. “Ya Allah, apa memang karena kita sudah berjodoh?aku sekarang telah menjadi istri orang yang aku cintai.” Batin Salwa dalam hati sembari tak henti mengucap syukur.
***
            “Assalamualaikum,”Sahut suara yang sangat dikenal Salwa dari seberang, dia membuka tirai.
            “Waalaikumsalam.”
            “Salwa, Kau benar-benar telah siap menerimaku?” Sahut suara di samping. Lembut.
            “Apa ini benar-benar kau, Mas Ryan?” Salwa memandangnya penuh arti.
            “Iya. Apa kau masih tidak percaya, wahai istriku?” Ryan memandang Salwa begitu lembut.
            Salwa pun menangis, tangisan bahagianya pecah. Ryan duduk di samping Salwa. Memeluknya.
            “Maaf, maafkan aku jika aku begitu dingin terhadapmu.”
            “Tidak. Tidak apa-apa. Boleh aku bertanya sesuatu?”Salwa menghapus air matanya.
            “Saat Mas Ryan meneleponku di kampus, ada nama Fikri di kontakku. Aku terheran, nomer siapa itu?”
            Ryan tersenyum, memandangi Salwa hangat nan syahdu.
            “Apa kau tidak pernah tau namaku? Fikri Ar-Rayan. Apa kau tidak ingat dulu Mbak Nadra pernah memberimu nomer HP dengan nama Fikri?”
            Salwa mulai berpikir, lama. Jadi selama ini,,,
            “Fikri Ar-Rayan??. Jadi aku ...” Belum sempat Salwa melanjutkan kalimatnya.
            “Iya. Apa kau ingin mendengar rahasiaku??” Tanya Ryan. Lembut. Salwa mengangguk lemah.
            “Sayang, Aku mencintaimu.”Ucap Ryan sembari mengecup kening Salwa pelan.
***
Oleh : Khaura El-Syada- Ipho



2 komentar:

  1. speechless.. bisa diperluas dijadiin novel.. worth trying vo..

    ReplyDelete
  2. Iya cwik...kalau ada kesempatan,mau dah lembur bikin novel,,hehe :D
    Makasi makasi...^_^

    ReplyDelete