HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

Ayah, Aku Ingin Menikah


Oleh : Khaura El-Syada
            Hp Nisa tidak henti-hentinya berdering, berkali-kali dia mematikannya. Tapi, kembali berdering lagi. Dengan berat hati Nisa mengangkat telpon masuk itu.
            “Assalamu’alaikum,” Sahut Nisa malas.
            “Wa’alaikumsalam, ukhti. Akhirnya kau angkat juga telepon dariku”
            “Ada apa ya pagi-pagi begini?” Kini nada bicara Nisa langsung sinis.
            “Kok gitu sih ngomongnya? Apa aku mengganggumu?”
            “....”
            “Halo, Kok diam saja? Nisa, apa aku mengganggumu?”
            “Iya, aku sedang sibuk. Ada apa kau menelponku?”
            “Aku hanya ingin tau kabarmu, kau tidak pernah membalas sms dariku, kenapa?”
            “Kabarku baik. Hem, aku lagi hemat pulsa, hanya membalas sms-sms penting, jadi, maaf kalau sms darimu tidak berbalas,” Sahut Nisa masih dengan nada sinisnya.
            “Oh begitu. Ya sudah, aku cuman ingin mastiin kamu baik-baik aja di sana. Aku tutup dulu ya, maaf sudah mengganggu. Wassalamualaikum”
            Nisa langsung mematikan Hpnya setelah menjawab salam.
            “Mastiin kabarku baik-baik saja, emang kamu siapa? pakek manggil-manggil ukhti lagi, ihh...,” gumam Nisa menanggapi telpon dari seorang yang baru saja dikenalnya saat pertemuan seminar dua minggu lalu, namanya Ardi.
            Tak lama kemudian sebuah sms masuk.
Aslm, Nisa. Ardi cerita katanya km sinis banget sama dy. Knp?kasihan tuh si ardi, lesu dia ngadepin kamu sinis terus, g ada baik-baiknya. Aq jadi g enak jg ama dy. Jgn sinis2 dong nis, yaa.. J
         
          “Apa-apaan ini? Beraninya dia langsung mengadukanku ke Endah. Dasar, dia kira dengan begitu aku akan ramah kepadanya.” Nisa kembali menggumam kesal gara-gara tingkah Ardi seperti anak kecil. Nisa tidak berniat untuk membalas sms dari Endah dan menganggapnya hanya angin lalu saja.
            Ini hari libur, kebiasaan Nisa pada hari libur adalah pergi ke rumah neneknya di Tangerang. Dia mengemas beberapa baju dan buku, berniat ingin menginap di sana, memanfaatkan libur akhir pekan, pikirnya. Ransel sudah siap, kamarpun sudah rapi. Akhirnya dia berpamitan kepada Ibunya yang sedang sibuk mengurus taman di belakang rumah.
            “Ibu, aku berangkat ke rumah nenek ya”
            “Ya udah, hati-hati. Itu jangan lupa dibawa kue kesukaan nenek udah ibu siapin”
            “Siap, bu,” Sahut Nisa sambil menaruh tangannya di dahi dengan posisi hormat. Nisa menyalami ibunya dan langsung bergegas pergi. Amir, kakak Nisa akan mengantarnya sampai halte Busway di dekat rumah.
            “Hati-hati, dek. Barang bawaannya dijaga, salam buat nenek ya,” Ucap Amir sambil mengelus-elus kepala adiknya. Ibu Nisa sedari kecil menitipkan Nisa ke pangkuan neneknya karena dulu ibunya sakit-sakitan sehingga tidak bisa merawat Nisa secara langsung, karena itu Nisa dekat sekali dengan neneknya dan sering menghabiskan waktu bersama.
            Seperti minggu sebelumnya, dengan riang Nisa membeli tiket dan menunggu busway di koridor sampai akhirnya dia melihat sosok yang dia kenal. Deg. Nisa pura-pura tidak melihat,  tapi aksinya telat, orang itupun menyadari kehadiran Nisa di sana.

            “Loh, Nisa?”
            “Eh, iya,” Sahut Nisa dengan senyum yang dipaksakan.
            “Mau ke mana?”
            “Mau ke rumah nenek, kak. Kakak sendiri dari mana?”
            “Aku tadi jalan-jalan pagi saja, terus pengen muter-muter sambil naek busway, akhirnya transit di sini, rumahmu di sekitar sini ya?”
            Nisa mengangguk pelan. Jantungnya masih berdebar, dia mengedarkan pandangannya ke jalanan yang penuh dengan kendaraan. Berusaha bersikap netral kepada orang yang dikaguminya ini. Raihan, kakak tingkatnya di kampus, berbeda jurusan dengannya. Mereka saling kenal di Organisasi kampus. Siapa yang tidak kagum dengan wajah tampan dan sifatnya yang ramah ini, cewek-cewek di kampus pun akan luluh kalau dia sudah berbicara, pikirnya dalam hati.
            “Kamu mau naik ke arah mana, nis?”
            “Kalideres, kak. Kalau kakak?”
            “Transit di Grogol dulu ya kalau gitu, kebetulan kita searah,” sahut Raihan ramah.
            Tak lama kemudian, dua insan ini naik ke busway yang sama, seperti biasa orang-orang langsung berebut masuk ke dalam busway. Keduanya tidak dapat tempat duduk dan harus berdiri berdesakan. Raihan memberi celah berdiri yang nyaman kepada Nisa di sudut agar Nisa tidak perlu berdesakan dengan orang-orang lainnya di busway. Raihan berdiri tepat di depannya dengan posisi seakan-akan melindungi Nisa. Nisa merasa kekeh dengan perlakuan dari Raihan. Namun, dia berusaha menyamankan diri karena tidak bisa berbuat apa-apa.
            Entah kenapa, Nisa merasa perjalanan ini begitu lambat. Nisa ingin cepat transit dan melanjutkan perjalanan selanjutnya, agar dia bisa berdiri lebih nyaman setidaknya. Berkali-kali Raihan melihat ke arah Nisa, seakan memastikan keadaanya, inilah yang lama kelamaan membuat Nisa jengah sendiri. Tak lama kemudian, mereka berdua turun.
            “Kamu masih akan melanjutkan perjalanan ya?” tanya Raihan.
            “Iya, kak”
            “Ya sudah, aku temani menunggu busway selanjutnya” Nisa kaget mendengar tawaran Raihan dan buru-buru menolak.
            “Tidak usah, kak. Kakak bisa langsung melanjutkan perjalanan kakak. Biar aku menunggu di sini. Aku sudah biasa kok.”
            “Tidak apa-apa.”
            Tak lama kemudian, busway yang ditunggu pun datang. Nisa bergegas pamit dan kembali berdesakan dengan orang-orang yang ada di depannya. Dan tak disangka Raihan juga ikut masuk di belakangnya. Nisa terlonjak kaget melihat Raihan sudah berdiri di sampingnya. Seperti yang dia lakukan sebelumnya, dia berposisi seolah-olah dia melindungi Nisa, membuatnya semakin gerah.
            “Kenapa Kak Raihan jadi ikut-ikutan masuk ke sini?” Ucap Nisa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
            “Aku khawatir, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian. Tidak apalah aku mengantarkanmu sampai pemberhentian selanjutnya”
            “Kakak tidak perlu melakukan itu. Aku bukan anak kecil, aku bisa membawa diri sendiri,” sahut Nisa mulai menyatakan ketidaksukaannya atas sikap Raihan.
            “Bukan begitu, aku hanya khawatir membiarkanmu sendirian. Kupikir kau juga akan senang aku temani di perjalanan”
            “....”
            Tiba-tiba Raihan menggaet tangannya dan menariknya ke sudut busway.
            “Disini lebih enak. Pasti cukup lelah harus berdiri dari tadi, kalau disini kan walau berdiri bisa tetap bersandar, tidak terlalu lelah,” sahut Raihan sambil tersenyum.
            “Kakak ini kenapa? Jangan terlalu mengkhawatirkan aku,” Nisa melepaskan gaetan tangan Raihan. Perasaan kagumnya seraya sirna tiba-tiba.
            “Kenapa kau jadi sinis begitu?”
            “Aku tidak sinis. Hanya saja aku merasa diperlakukan seperti anak kecil,” Ucap Nisa semakin jengah.
            “Tidak, aku tidak bermaksud memperlakukanmu seperti anak kecil. Maaf”
            Orang-orang di sekitar Nisa dan raihan mulai melihat ke arah mereka berdua yang kini sedang berdebat sengit.
            “Kakak boleh turun lebih dulu, biar jalan untuk kembali nanti tidak begitu jauh”
            “Tidak, aku tetap di sini”
            “Terserah kalau begitu” Nisa menyerah. Dia tidak enak dilihat oleh orang-orang di sekelilingnya. Semakin lama busway semakin penuh, berdesakan tidak karuan. Ah, Nisa benar-benar ingin semua ini cepat berakhir.
            Beberapa menit kemudian, dia sampai juga di pemberhentian Kalideres.
            “Hati-hati, nis”
            “Iya,”Nisa langsung beringsut dari sana. Tidak lagi ingin berbasa-basi. Dia langsung menaiki angkutan umum ke arah rumah neneknya. Pikirannya benar-benar melayang entah kemana. Hpnya bergetar.
            Pesan 1 :
            Maaf, Nisa. Aku tadi hanya bermaksud memperlakukanmu dengan baik. Bkn tiada maksud lantaran aku mengantarmu sampai pemberhentian terakhir, sebenarnya ada yg ingin aku bicarakan, tentang kita. Tapi tadi kamu begitu kesal kepadaku dan langsung pergi. Besok hari senin, bisakah kita bertemu di kampus, kamu masih akan mengurus beberapa dokumen untuk wisuda bukan? J
Pesan 2 :
Nisa, kau tidak membalas smsku?. Ardi mengadu padaku bkn berarti krn dy kekanak-kanak an. Dia ingin aku menyampaikan bahwa dia punya perasaan khusus padamu. Jangan begitu sinis, apa kau tdk bisa sedikit baik kepadanya? Dia baik, nis.

            Ah, Nisa kembali mengunci Hp-nya. Akhirnya dia sampai juga di gang rumah nenek. Dengan riang dia berjalan ke rumah nenek. Sesampainya di depan rumah, dia melihat pintu rumah terbuka, sepertinya sedang ada tamu.
            “Assalamu’alaikum” Sapa Nisa memasuki rumah Nenek. Aneh, ruang tamu sepi tapi pintu terbuka lebar.
            “Nenek, Nisa datang,” Nisa menyahut dengan suara yang lebih keras.
            “Ah, Akhirnya Nisa datang juga. Nenek sudah nungguin kamu dari tadi, sayang. Ada yang ingin ketemu kamu,” Nenek menyambut dari kebun belakang.
            “Hah? Siapa, nek?” Nisa memeluk erat neneknya, seminggu saja tidak bertemu rasanya rindu tetap saja terasa.
            “Itu, si David. Ingat tidak? Teman kecilmu dulu, kalian kan sering bermain bersama”
            “Si David ke sini? Ah, ada apa tiba-tiba ingin bertemu denganku jauh-jauh kemari, bukannya dia kuliah di Bogor, nek?” Nisa langsung meletakkan kue titipan dari ibu ke dapur. Tiba-tiba David datang ke dapur menghampirinya.
            “Wah Nisa, kayaknya kamu tambah tinggi deh, ” celetuk david mengejutkannya.
            “Hai David, teman bengalku ini, kamu rapi sekali kali ini seperti seorang eksekutif muda,” Nisa pun membalas celetukan David yang membuatnya tertawa kecil.
            “Lama tidak jumpa, kamu datang dari Bogor?” Tanya Nisa riang.
            “Iya, aku jauh-jauh kemari mencarimu lho,” David kembali menyeletuk ringan.
            “Ah ah, pasti kalian kangen sekali ya, lama tidak jumpa. Ya sudah sana, duduk di ruang tamu atau di kebun, ngobrol-ngobrol,” Sela nenek menggodaku.
            Nisa menggaet tangan neneknya hendak mengajak untuk mengobrol bersama. Tapi nenek menolak. Akhirnya Nisa memilih mengajak David ke kebun belakang. Mereka duduk di kursi lipat berpayung. Hening, tidak ada yang memulai pembicaraan. Mata mereka menatap kebun kecil itu, dulu sering sekali mereka bermain bersama di sana. Seakan kembali ke masa kanak-kanak.
            “Kau sangat cantik, nis” David memulai percakapan.
            “Ah, kau ini. Jauh-jauh dari Bogor hanya untuk mengatakan bahwa aku cantik?” Nisa mencairkan suasana beku.
            “Tidaklah, aku punya tujuan khusus datang kemari”
            “Ah, firasatku tidak enak sepertinya, jangan-jangan kau ingin menagih hutang kepadaku, hutang 500 perak saat kita dulu beli makanan ringan di warung sebelah” canda Nisa. Kali ini David tetawa, suasana sudah mulai hangat, Nisa berhasil menyingkirkan kecanggungan di antara mereka.
            “Aku..”
            “Iya, kenapa, vid?”
            “Aku tiba-tiba rindu ingin bertemu denganmu, rasanya sudah 6 tahun ya kita sama sekali tidak bertemu setelah kematian kakekmu dulu”
            “Ah, itu. iya” Nisa menunduk.
            “Aku tidak bisa menyembunyikan terlalu lama, nis. Aku ingin melamarmu” Mulut Nisa melongo. Baju toga bahkan belum dia pakai, tapi dia sudah mendapatkan lamaran. Dia masih kaget dengan pernyataan David.
            “David, kau bercanda bukan?” Nisa berusaha bersikap seperti tidak terjadi sesuatu. Namun tiba-tiba nenek datang menghampiri.
            “Kau sudah dengar, nis? Dia serius berani langsung datang kemari melamarmu. Tidak banyak ba-bi-bu seperti laki-laki lainnya”
            “Nenek sudah tau?”
            “Iya, David mengatakannya sebelum kamu datang kemari” Nisa menunduk. Entah, harus berkata apa. Kejadian demi kejadian hari ini benar-benar membuatnya tidak bisa berpikir jernih lagi.
            “Maaf, vid. Aku tidak bisa memberi jawaban sekarang”
            “Tidak apa-apa.”
***
            Nisa hanya duduk termenung di dalam kamarnya. Kejadian demi kejadian, bahkan beberapa minggu lalu Nisa sempat berdebat hebat dengan seseorang yang terus mengganggunya, dia sms tiap waktu, mengirim kata-kata mesra, mengumbar cinta seenaknya. Tidak hanya itu, dia sering menelponnya, mengirim email kepadanya. Ya, Nisa merasa lelah dengan semua ini. Berujung pada lamaran David tadi. Sebelumnya dia memang sangat ingin menikah, tapi tidak ada calon yang sreg di hatinya. Dan bagaimana dengan lamaran David? Pikirannya berkecamuk tak karuan. Kata-kata nenek tiba-tiba terngiang kembali,
            “Nis, pertimbangkan lagi. Lamaran datang tidak satu dua kali. Kamu juga gerah sendiri kan, jangan ambil keputusan yang salah, pikirkan masa depanmu baik-baik”
            Sepulang dari rumah nenek, pikirannya semakin tak karuan. Tiap malam kini tak hanya sholat tahajud yang dia lakukan, tapi juga sholat istikhoroh. Dia benar-benar pasrah meminta jawaban. Lamaran dari David sudah dia tolak, walaupun tanpa berdiskusi dengan ibunya. Rasanya tidak mantap, alangkah senangnya saat nenek bercerita bahwa David menerima keputusan itu dengan lapang dada. Sampai pada suatu pagi, kembali ada sebuah telpon, kali ini dari Nia, saudaranya di Bandung.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam, Nisa. Bagaimana kabarmu?”
            “Baik, Ni. Kabar kamu sendiri dan suami bagaimana?”
            “Alhamdulillah baik. Kemarin nenek menelponku, nis. Yah, sedikit bercerita tentangmu. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponmu pagi ini” ucap Nia, nadanya serius.
            “Wah, cerita apa saja, ni? Jadi curiga, hehe”
            “Tidak penting cerita apa, lebih penting kabar yang aku bawa sekarang. Ada teman suamiku yang ingin menikah. Dia sedang mencari, tiba-tiba aku kepikiran kamu waktu itu. Akhirnya aku menceritakan tentang dirimu kepadanya. Dia mengiyakan siap datang ke rumah katanya. Lulusan Teknik ITB, dia sedang akan melanjutkan studinya ke Negeri Matahari Terbit. Apa kau bersedia, nis? Aku menawarkan ini bukan tanpa pertimbangan. Namanya Farhan, background keluarga bagus, suamiku sudah kenal dekat dengan mereka. Jika kau setuju, nanti aku akan datang ke rumahmu untuk membicarakan ini lebih lanjut” Penjelasan panjang tanpa basa-basi dari Nia membuatnya terduduk lemas di kasur.
            “....”
            “Halo, Nis, kamu masih di sana kan?”
            “Iya, Ni. Nanti aku akan memikirkannya lagi.”
            “ Tolong dipertimbangkan baik-baik ya,” sahut Nia serius.
            Rasanya ingin ambruk. Ini ujian ataukah jawaban dari do’a panjangku? Nisa tak tau lagi harus membendung ini semua kemana. Bulir-bulir air mata hangat membasahi pipinya. Lelah rasanya, dia masih harus mengurusi wisuda-nya hari ini, tapi sudah tidak ada lagi daya.
***
            Malam itu, saat sedang kumpul bersama di ruang keluarga. Nisa memberanikan diri untuk bicara.
            “Ayah, ibu. Ada yang ingin Nisa bicarakan”
            “Iya, ada apa, nak?” sahut Ayah Nisa menanggapi puteri kesayangannya itu.
            “Ayah, aku ingin menikah”  ucap Nisa mantap kali itu. Tak hanya ayahnya yang terkejut, Ibu dan kakaknya langsung mengarahkan pandangan mereka ke Nisa.
            “Kau serius, nak?” Kali ini Ayah Nisa menatapnya tajam.
            “Iya, yah. Nisa sudah berhari-hari mempertimbangkan keputusan ini”
            “Kau bahkan belum wisuda. Masih sekitar tiga bulan lagi kan?. Apa sudah ada yang melamarmu?”
            Lantas cerita mengalir dari mulut Nisa. Tentang kakak tingkatnya, temannya sampai lamaran David yang dia tolak, dan kali ini dengan detail Nisa menceritakan lamaran Farhan lewat Nia. Dia sudah berkali-kali menelpon Nia, menanyakan tentang Farhan.
            “Dan kali ini Nisa mantap ingin menerima lamaran itu, yah. Nisa lelah dengan semua ini. Farhan lelaki yang baik. Nia termasuk orang yang Ayah percaya bukan?, aku rasa Ayah juga akan percaya bahwa Nia tidak akan menwarkan calon sembarangan kepadaku”
            “Nis, Amir bahkan belum menikah,” ibunya kali ini ikut menanggapi.
            “Jangan mempermasalahkan Amir, bu. Jika Nisa lebih siap dan sudah ada calon, Amir tidak masalah jika dek Nisa menikah terlebih dahulu,” Amir, kakak nisa, pun menyela lembut.
            “Apa kau benar-benar siap, nisa sayang. Menikah itu bukan perkara mudah, menikah itu langkah awal menuju gerbang masa depan yang lebih rumit. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,” Ayah menanggapi dengan bijak.
            “Iya, yah. Nisa sudah berkali-kali melakukan istikhoroh. Nia bilang, jika nanti Ayah setuju, Farhan akan kemari bersama keluarga melamar Nisa. Nisa memang sama sekali tidak mengenal Farhan, tapi Nisa mantap, yah.”
            Hening. Ayah terdiam lama sekali, sekana menerawang kemudian menatap Nisa lembut.
            “Baiklah, biarkan Farhan dan keluarganya datang kemari biar Ayah bisa menilai,”Ucap Ayah Nisa sambil mengelus kepala Nisa lembut.  
***
            Siang itu, banyak sekali yang ditanyakan Ayah kepada Farhan. Dari mulai kebiasaan bangun tidur jam berapa sampai studi yang akan dia lakukan di Jepang. Siang itu pula aku baru mengenal sosok Farhan. Bagaimana paras dan suaranya. Percakapan panjang itu diakhiri oleh pernyataan dari Ayah.
            “Sejauh ini, saya tidak mempermasalahkan nak Farhan. Sekarang terserah Nisa, mau mengiyakan lamaran atau bagaimana?”
            Hening. Nisa masih diam, jawaban demi jawaban Farhan semakin memantapkan Nisa. Ada sedikit rasa takut memulai hidup baru dengan orang yang baru saja dikenalnya. Tapi perasaan Nisa begitu mantap kali ini.
            “Bagaimana, nisa?” ucap ibunya lembut sambil memeluk bahunya, hangat. Nisa berbisik pelan mengiyakan di telinga ibunya.
            “Nisa menjawab ‘iya’, nak Farhan” Suasana hening langsung berganti dengan sorak bahagia seraya mengucap tahmid kepadaNya. Pertemuan itu lantas dilanjutkan dengan membicarakan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan pernikahan. Pernikahan akan secepatnya dilangsungkan karena pihak keluarga juga tidak ingin menunda-nunda lagi. Percakapan pun mulai kembali serius, dan Amir ditunjuk sebagai pihak yang nanti bertanggung jawab penuh mengurusi pernikahan ini. Tidak perlu meriah, Nisa dan Amir hanya ingin pernikahan ini benar-benar sakral, tidak hanya umbar materi semata.
***
            Hari itu adalah hari Nisa berpakaian toga. Dia sudah siap akan berangkat ke kampus,
            “Dek, sudah siap?” tanya Farhan dari pintu kamar.
            “Sudah” Nisa berdiri melihatkan dirinya yang sudah bertoga dan memamerkan senyum indahnya.
            “Ada yang ingin aku sampaikan sebelum kita berangkat,” sahut Farhan serius sambil berjalan menghampiri Nisa. Farhan berdiri di depan Nisa, hanya berjarak sekian centimeter saja. Lantas dia mengeluarkan sebuah mawar merah yang cantik dari tangan yang bersembunyi di balik punggungnya sedari tadi, seraya berkata,
            “Bidadariku, aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu,” Nisa tersenyum senang. Ini pertama kali Farhan menyatakan perasaannya sejak pernikahan mereka.
            “Pagi ini kau romantis sekali” Nisa menerima sekuntum mawar itu dengan perasaan berbunga-bunga. Rasanya kamar ini dipenuhi oleh taburan bedak cinta.
            “Apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?”
            Lantas Nisa mendekat dan berbisik di telingan Farhan,
            “Kau bahkan sudah mewisuda hatiku sejak lama, I love u, suamiku”
***


           


       

3 komentar:

  1. ciee kenapa itu???
    jangan pembacanya pada senyum-senyum karena kepingin...hehe :P

    ReplyDelete
  2. biasanya judul tulisan mencirikan keinginan penulisnya :P

    ReplyDelete