Oleh : Khaura El-Syada
Hp Nisa tidak henti-hentinya
berdering, berkali-kali dia mematikannya. Tapi, kembali berdering lagi. Dengan
berat hati Nisa mengangkat telpon masuk itu.
“Assalamu’alaikum,” Sahut Nisa
malas.
“Wa’alaikumsalam, ukhti. Akhirnya
kau angkat juga telepon dariku”
“Ada apa ya pagi-pagi begini?” Kini
nada bicara Nisa langsung sinis.
“Kok gitu sih ngomongnya? Apa aku
mengganggumu?”
“....”
“Halo, Kok diam saja? Nisa, apa aku
mengganggumu?”
“Iya, aku sedang sibuk. Ada apa kau
menelponku?”
“Aku hanya ingin tau kabarmu, kau
tidak pernah membalas sms dariku, kenapa?”
“Kabarku baik. Hem, aku lagi hemat
pulsa, hanya membalas sms-sms penting, jadi, maaf kalau sms darimu tidak
berbalas,” Sahut Nisa masih dengan nada sinisnya.
“Oh begitu. Ya sudah, aku cuman
ingin mastiin kamu baik-baik aja di sana. Aku tutup dulu ya, maaf sudah
mengganggu. Wassalamualaikum”
Nisa langsung mematikan Hpnya
setelah menjawab salam.
“Mastiin kabarku baik-baik saja,
emang kamu siapa? pakek manggil-manggil ukhti lagi, ihh...,” gumam Nisa
menanggapi telpon dari seorang yang baru saja dikenalnya saat pertemuan seminar
dua minggu lalu, namanya Ardi.
Tak lama kemudian sebuah sms masuk.
Aslm, Nisa. Ardi cerita katanya km sinis banget
sama dy. Knp?kasihan tuh si ardi, lesu dia ngadepin kamu sinis terus, g ada
baik-baiknya. Aq jadi g enak jg ama dy. Jgn sinis2 dong nis, yaa.. J
“Apa-apaan ini? Beraninya dia langsung mengadukanku ke Endah.
Dasar, dia kira dengan begitu aku akan ramah kepadanya.” Nisa kembali menggumam
kesal gara-gara tingkah Ardi seperti anak kecil. Nisa tidak berniat untuk
membalas sms dari Endah dan menganggapnya hanya angin lalu saja.
Ini hari libur, kebiasaan Nisa pada
hari libur adalah pergi ke rumah neneknya di Tangerang. Dia mengemas beberapa
baju dan buku, berniat ingin menginap di sana, memanfaatkan libur akhir pekan,
pikirnya. Ransel sudah siap, kamarpun sudah rapi. Akhirnya dia berpamitan
kepada Ibunya yang sedang sibuk mengurus taman di belakang rumah.
“Ibu, aku berangkat ke rumah nenek
ya”
“Ya udah, hati-hati. Itu jangan lupa
dibawa kue kesukaan nenek udah ibu siapin”
“Siap, bu,” Sahut Nisa sambil
menaruh tangannya di dahi dengan posisi hormat. Nisa menyalami ibunya dan
langsung bergegas pergi. Amir, kakak Nisa akan mengantarnya sampai halte Busway
di dekat rumah.
“Hati-hati, dek. Barang bawaannya
dijaga, salam buat nenek ya,” Ucap Amir sambil mengelus-elus kepala adiknya. Ibu
Nisa sedari kecil menitipkan Nisa ke pangkuan neneknya karena dulu ibunya sakit-sakitan
sehingga tidak bisa merawat Nisa secara langsung, karena itu Nisa dekat sekali
dengan neneknya dan sering menghabiskan waktu bersama.
Seperti minggu sebelumnya, dengan
riang Nisa membeli tiket dan menunggu busway di koridor sampai akhirnya dia
melihat sosok yang dia kenal. Deg. Nisa pura-pura tidak melihat, tapi aksinya telat, orang itupun menyadari
kehadiran Nisa di sana.
“Loh, Nisa?”
“Eh, iya,” Sahut Nisa dengan senyum
yang dipaksakan.
“Mau ke mana?”
“Mau ke rumah nenek, kak. Kakak
sendiri dari mana?”
“Aku tadi jalan-jalan pagi saja,
terus pengen muter-muter sambil naek busway, akhirnya transit di sini, rumahmu
di sekitar sini ya?”
Nisa mengangguk pelan. Jantungnya
masih berdebar, dia mengedarkan pandangannya ke jalanan yang penuh dengan
kendaraan. Berusaha bersikap netral kepada orang yang dikaguminya ini. Raihan,
kakak tingkatnya di kampus, berbeda jurusan dengannya. Mereka saling kenal di
Organisasi kampus. Siapa yang tidak kagum dengan wajah tampan dan sifatnya yang
ramah ini, cewek-cewek di kampus pun akan luluh kalau dia sudah berbicara,
pikirnya dalam hati.
“Kamu mau naik ke arah mana, nis?”
“Kalideres, kak. Kalau kakak?”
“Transit di Grogol dulu ya kalau
gitu, kebetulan kita searah,” sahut Raihan ramah.
Tak lama kemudian, dua insan ini
naik ke busway yang sama, seperti biasa orang-orang langsung berebut masuk ke
dalam busway. Keduanya tidak dapat tempat duduk dan harus berdiri berdesakan.
Raihan memberi celah berdiri yang nyaman kepada Nisa di sudut agar Nisa tidak
perlu berdesakan dengan orang-orang lainnya di busway. Raihan berdiri tepat di
depannya dengan posisi seakan-akan melindungi Nisa. Nisa merasa kekeh
dengan perlakuan dari Raihan. Namun, dia berusaha menyamankan diri karena tidak
bisa berbuat apa-apa.
Entah kenapa, Nisa merasa perjalanan
ini begitu lambat. Nisa ingin cepat transit dan melanjutkan perjalanan
selanjutnya, agar dia bisa berdiri lebih nyaman setidaknya. Berkali-kali Raihan
melihat ke arah Nisa, seakan memastikan keadaanya, inilah yang lama kelamaan
membuat Nisa jengah sendiri. Tak lama kemudian, mereka berdua turun.
“Kamu masih akan melanjutkan
perjalanan ya?” tanya Raihan.
“Iya, kak”
“Ya sudah, aku temani menunggu
busway selanjutnya” Nisa kaget mendengar tawaran Raihan dan buru-buru menolak.
“Tidak usah, kak. Kakak bisa
langsung melanjutkan perjalanan kakak. Biar aku menunggu di sini. Aku sudah
biasa kok.”
“Tidak apa-apa.”
Tak lama kemudian, busway yang
ditunggu pun datang. Nisa bergegas pamit dan kembali berdesakan dengan
orang-orang yang ada di depannya. Dan tak disangka Raihan juga ikut masuk di
belakangnya. Nisa terlonjak kaget melihat Raihan sudah berdiri di sampingnya.
Seperti yang dia lakukan sebelumnya, dia berposisi seolah-olah dia melindungi
Nisa, membuatnya semakin gerah.
“Kenapa Kak Raihan jadi ikut-ikutan
masuk ke sini?” Ucap Nisa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
“Aku khawatir, aku tidak bisa
membiarkanmu sendirian. Tidak apalah aku mengantarkanmu sampai pemberhentian
selanjutnya”
“Kakak tidak perlu melakukan itu.
Aku bukan anak kecil, aku bisa membawa diri sendiri,” sahut Nisa mulai
menyatakan ketidaksukaannya atas sikap Raihan.
“Bukan begitu, aku hanya khawatir
membiarkanmu sendirian. Kupikir kau juga akan senang aku temani di perjalanan”
“....”
Tiba-tiba Raihan menggaet tangannya
dan menariknya ke sudut busway.
“Disini lebih enak. Pasti cukup
lelah harus berdiri dari tadi, kalau disini kan walau berdiri bisa tetap
bersandar, tidak terlalu lelah,” sahut Raihan sambil tersenyum.
“Kakak ini kenapa? Jangan terlalu
mengkhawatirkan aku,” Nisa melepaskan gaetan tangan Raihan. Perasaan kagumnya
seraya sirna tiba-tiba.
“Kenapa kau jadi sinis begitu?”
“Aku tidak sinis. Hanya saja aku
merasa diperlakukan seperti anak kecil,” Ucap Nisa semakin jengah.
“Tidak, aku tidak bermaksud
memperlakukanmu seperti anak kecil. Maaf”
Orang-orang di sekitar Nisa dan
raihan mulai melihat ke arah mereka berdua yang kini sedang berdebat sengit.
“Kakak boleh turun lebih dulu, biar
jalan untuk kembali nanti tidak begitu jauh”
“Tidak, aku tetap di sini”
“Terserah kalau begitu” Nisa
menyerah. Dia tidak enak dilihat oleh orang-orang di sekelilingnya. Semakin
lama busway semakin penuh, berdesakan tidak karuan. Ah, Nisa benar-benar ingin
semua ini cepat berakhir.
Beberapa menit kemudian, dia sampai
juga di pemberhentian Kalideres.
“Hati-hati, nis”
“Iya,”Nisa langsung beringsut dari
sana. Tidak lagi ingin berbasa-basi. Dia langsung menaiki angkutan umum ke arah
rumah neneknya. Pikirannya benar-benar melayang entah kemana. Hpnya bergetar.
Pesan 1 :
Maaf, Nisa. Aku tadi hanya bermaksud memperlakukanmu dengan baik.
Bkn tiada maksud lantaran aku mengantarmu sampai pemberhentian terakhir,
sebenarnya ada yg ingin aku bicarakan, tentang kita. Tapi tadi kamu begitu
kesal kepadaku dan langsung pergi. Besok hari senin, bisakah kita bertemu di
kampus, kamu masih akan mengurus beberapa dokumen untuk wisuda bukan? J
Pesan 2 :
Nisa, kau tidak membalas smsku?. Ardi mengadu
padaku bkn berarti krn dy kekanak-kanak an. Dia ingin aku menyampaikan bahwa
dia punya perasaan khusus padamu. Jangan begitu sinis, apa kau tdk bisa sedikit
baik kepadanya? Dia baik, nis.
Ah, Nisa kembali mengunci Hp-nya. Akhirnya dia sampai juga di gang
rumah nenek. Dengan riang dia berjalan ke rumah nenek. Sesampainya di depan
rumah, dia melihat pintu rumah terbuka, sepertinya sedang ada tamu.
“Assalamu’alaikum”
Sapa Nisa memasuki rumah Nenek. Aneh, ruang tamu sepi tapi pintu terbuka lebar.
“Nenek, Nisa
datang,” Nisa menyahut dengan suara yang lebih keras.
“Ah, Akhirnya Nisa
datang juga. Nenek sudah nungguin kamu dari tadi, sayang. Ada yang ingin ketemu
kamu,” Nenek menyambut dari kebun belakang.
“Hah? Siapa, nek?”
Nisa memeluk erat neneknya, seminggu saja tidak bertemu rasanya rindu tetap
saja terasa.
“Itu, si David.
Ingat tidak? Teman kecilmu dulu, kalian kan sering bermain bersama”
“Si David ke sini?
Ah, ada apa tiba-tiba ingin bertemu denganku jauh-jauh kemari, bukannya dia
kuliah di Bogor, nek?” Nisa langsung meletakkan kue titipan dari ibu ke dapur.
Tiba-tiba David datang ke dapur menghampirinya.
“Wah Nisa,
kayaknya kamu tambah tinggi deh, ” celetuk david mengejutkannya.
“Hai David, teman
bengalku ini, kamu rapi sekali kali ini seperti seorang eksekutif muda,” Nisa
pun membalas celetukan David yang membuatnya tertawa kecil.
“Lama tidak jumpa,
kamu datang dari Bogor?” Tanya Nisa riang.
“Iya, aku
jauh-jauh kemari mencarimu lho,” David kembali menyeletuk ringan.
“Ah ah, pasti
kalian kangen sekali ya, lama tidak jumpa. Ya sudah sana, duduk di ruang tamu
atau di kebun, ngobrol-ngobrol,” Sela nenek menggodaku.
Nisa menggaet
tangan neneknya hendak mengajak untuk mengobrol bersama. Tapi nenek menolak.
Akhirnya Nisa memilih mengajak David ke kebun belakang. Mereka duduk di kursi
lipat berpayung. Hening, tidak ada yang memulai pembicaraan. Mata mereka
menatap kebun kecil itu, dulu sering sekali mereka bermain bersama di sana.
Seakan kembali ke masa kanak-kanak.
“Kau sangat
cantik, nis” David memulai percakapan.
“Ah, kau ini.
Jauh-jauh dari Bogor hanya untuk mengatakan bahwa aku cantik?” Nisa mencairkan
suasana beku.
“Tidaklah, aku
punya tujuan khusus datang kemari”
“Ah, firasatku
tidak enak sepertinya, jangan-jangan kau ingin menagih hutang kepadaku, hutang
500 perak saat kita dulu beli makanan ringan di warung sebelah” canda Nisa.
Kali ini David tetawa, suasana sudah mulai hangat, Nisa berhasil menyingkirkan
kecanggungan di antara mereka.
“Aku..”
“Iya, kenapa,
vid?”
“Aku tiba-tiba
rindu ingin bertemu denganmu, rasanya sudah 6 tahun ya kita sama sekali tidak
bertemu setelah kematian kakekmu dulu”
“Ah, itu. iya”
Nisa menunduk.
“Aku tidak bisa
menyembunyikan terlalu lama, nis. Aku ingin melamarmu” Mulut Nisa melongo. Baju
toga bahkan belum dia pakai, tapi dia sudah mendapatkan lamaran. Dia masih
kaget dengan pernyataan David.
“David, kau
bercanda bukan?” Nisa berusaha bersikap seperti tidak terjadi sesuatu. Namun
tiba-tiba nenek datang menghampiri.
“Kau sudah dengar,
nis? Dia serius berani langsung datang kemari melamarmu. Tidak banyak ba-bi-bu
seperti laki-laki lainnya”
“Nenek sudah tau?”
“Iya, David
mengatakannya sebelum kamu datang kemari” Nisa menunduk. Entah, harus berkata
apa. Kejadian demi kejadian hari ini benar-benar membuatnya tidak bisa berpikir
jernih lagi.
“Maaf, vid. Aku
tidak bisa memberi jawaban sekarang”
“Tidak apa-apa.”
***
Nisa hanya duduk
termenung di dalam kamarnya. Kejadian demi kejadian, bahkan beberapa minggu
lalu Nisa sempat berdebat hebat dengan seseorang yang terus mengganggunya, dia
sms tiap waktu, mengirim kata-kata mesra, mengumbar cinta seenaknya. Tidak
hanya itu, dia sering menelponnya, mengirim email kepadanya. Ya, Nisa merasa
lelah dengan semua ini. Berujung pada lamaran David tadi. Sebelumnya dia memang
sangat ingin menikah, tapi tidak ada calon yang sreg di hatinya. Dan
bagaimana dengan lamaran David? Pikirannya berkecamuk tak karuan. Kata-kata
nenek tiba-tiba terngiang kembali,
“Nis,
pertimbangkan lagi. Lamaran datang tidak satu dua kali. Kamu juga gerah sendiri
kan, jangan ambil keputusan yang salah, pikirkan masa depanmu baik-baik”
Sepulang dari
rumah nenek, pikirannya semakin tak karuan. Tiap malam kini tak hanya sholat
tahajud yang dia lakukan, tapi juga sholat istikhoroh. Dia benar-benar pasrah
meminta jawaban. Lamaran dari David sudah dia tolak, walaupun tanpa berdiskusi
dengan ibunya. Rasanya tidak mantap, alangkah senangnya saat nenek bercerita
bahwa David menerima keputusan itu dengan lapang dada. Sampai pada suatu pagi,
kembali ada sebuah telpon, kali ini dari Nia, saudaranya di Bandung.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam,
Nisa. Bagaimana kabarmu?”
“Baik, Ni. Kabar kamu
sendiri dan suami bagaimana?”
“Alhamdulillah
baik. Kemarin nenek menelponku, nis. Yah, sedikit bercerita tentangmu. Akhirnya
aku memutuskan untuk menelponmu pagi ini” ucap Nia, nadanya serius.
“Wah, cerita apa
saja, ni? Jadi curiga, hehe”
“Tidak penting
cerita apa, lebih penting kabar yang aku bawa sekarang. Ada teman suamiku yang
ingin menikah. Dia sedang mencari, tiba-tiba aku kepikiran kamu waktu itu.
Akhirnya aku menceritakan tentang dirimu kepadanya. Dia mengiyakan siap datang
ke rumah katanya. Lulusan Teknik ITB, dia sedang akan melanjutkan studinya ke
Negeri Matahari Terbit. Apa kau bersedia, nis? Aku menawarkan ini bukan tanpa
pertimbangan. Namanya Farhan, background keluarga bagus, suamiku sudah kenal
dekat dengan mereka. Jika kau setuju, nanti aku akan datang ke rumahmu untuk
membicarakan ini lebih lanjut” Penjelasan panjang tanpa basa-basi dari Nia membuatnya
terduduk lemas di kasur.
“....”
“Halo, Nis, kamu
masih di sana kan?”
“Iya, Ni. Nanti
aku akan memikirkannya lagi.”
“ Tolong
dipertimbangkan baik-baik ya,” sahut Nia serius.
Rasanya ingin
ambruk. Ini ujian ataukah jawaban dari do’a panjangku? Nisa tak tau lagi harus
membendung ini semua kemana. Bulir-bulir air mata hangat membasahi pipinya.
Lelah rasanya, dia masih harus mengurusi wisuda-nya hari ini, tapi sudah tidak
ada lagi daya.
***
“Ayah, ibu. Ada
yang ingin Nisa bicarakan”
“Iya, ada apa,
nak?” sahut Ayah Nisa menanggapi puteri kesayangannya itu.
“Ayah, aku ingin
menikah” ucap Nisa mantap kali itu. Tak
hanya ayahnya yang terkejut, Ibu dan kakaknya langsung mengarahkan pandangan
mereka ke Nisa.
“Kau serius, nak?”
Kali ini Ayah Nisa menatapnya tajam.
“Iya, yah. Nisa
sudah berhari-hari mempertimbangkan keputusan ini”
“Kau bahkan belum
wisuda. Masih sekitar tiga bulan lagi kan?. Apa sudah ada yang melamarmu?”
Lantas cerita
mengalir dari mulut Nisa. Tentang kakak tingkatnya, temannya sampai lamaran
David yang dia tolak, dan kali ini dengan detail Nisa menceritakan lamaran
Farhan lewat Nia. Dia sudah berkali-kali menelpon Nia, menanyakan tentang
Farhan.
“Dan kali ini Nisa
mantap ingin menerima lamaran itu, yah. Nisa lelah dengan semua ini. Farhan
lelaki yang baik. Nia termasuk orang yang Ayah percaya bukan?, aku rasa Ayah
juga akan percaya bahwa Nia tidak akan menwarkan calon sembarangan kepadaku”
“Nis, Amir bahkan
belum menikah,” ibunya kali ini ikut menanggapi.
“Jangan
mempermasalahkan Amir, bu. Jika Nisa lebih siap dan sudah ada calon, Amir tidak
masalah jika dek Nisa menikah terlebih dahulu,” Amir, kakak nisa, pun menyela
lembut.
“Apa kau
benar-benar siap, nisa sayang. Menikah itu bukan perkara mudah, menikah itu
langkah awal menuju gerbang masa depan yang lebih rumit. Ada banyak hal yang
harus dipertimbangkan,” Ayah menanggapi dengan bijak.
“Iya, yah. Nisa sudah
berkali-kali melakukan istikhoroh. Nia bilang, jika nanti Ayah setuju, Farhan
akan kemari bersama keluarga melamar Nisa. Nisa memang sama sekali tidak
mengenal Farhan, tapi Nisa mantap, yah.”
Hening. Ayah
terdiam lama sekali, sekana menerawang kemudian menatap Nisa lembut.
“Baiklah, biarkan
Farhan dan keluarganya datang kemari biar Ayah bisa menilai,”Ucap Ayah Nisa
sambil mengelus kepala Nisa lembut.
***
Siang itu, banyak
sekali yang ditanyakan Ayah kepada Farhan. Dari mulai kebiasaan bangun tidur
jam berapa sampai studi yang akan dia lakukan di Jepang. Siang itu pula aku
baru mengenal sosok Farhan. Bagaimana paras dan suaranya. Percakapan panjang
itu diakhiri oleh pernyataan dari Ayah.
“Sejauh ini, saya
tidak mempermasalahkan nak Farhan. Sekarang terserah Nisa, mau mengiyakan
lamaran atau bagaimana?”
Hening. Nisa masih
diam, jawaban demi jawaban Farhan semakin memantapkan Nisa. Ada sedikit rasa
takut memulai hidup baru dengan orang yang baru saja dikenalnya. Tapi perasaan
Nisa begitu mantap kali ini.
“Bagaimana, nisa?”
ucap ibunya lembut sambil memeluk bahunya, hangat. Nisa berbisik pelan
mengiyakan di telinga ibunya.
“Nisa menjawab
‘iya’, nak Farhan” Suasana hening langsung berganti dengan sorak bahagia seraya
mengucap tahmid kepadaNya. Pertemuan itu lantas dilanjutkan dengan membicarakan
hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan pernikahan. Pernikahan akan secepatnya
dilangsungkan karena pihak keluarga juga tidak ingin menunda-nunda lagi.
Percakapan pun mulai kembali serius, dan Amir ditunjuk sebagai pihak yang nanti
bertanggung jawab penuh mengurusi pernikahan ini. Tidak perlu meriah, Nisa dan
Amir hanya ingin pernikahan ini benar-benar sakral, tidak hanya umbar materi
semata.
***
“Dek, sudah siap?” tanya Farhan dari
pintu kamar.
“Sudah” Nisa berdiri melihatkan
dirinya yang sudah bertoga dan memamerkan senyum indahnya.
“Ada yang ingin aku sampaikan
sebelum kita berangkat,” sahut Farhan serius sambil berjalan menghampiri Nisa.
Farhan berdiri di depan Nisa, hanya berjarak sekian centimeter saja. Lantas dia
mengeluarkan sebuah mawar merah yang cantik dari tangan yang bersembunyi di balik
punggungnya sedari tadi, seraya berkata,
“Bidadariku, aku mencintaimu sejak
pertama kali kita bertemu,” Nisa tersenyum senang. Ini pertama kali Farhan
menyatakan perasaannya sejak pernikahan mereka.
“Pagi ini kau romantis sekali” Nisa
menerima sekuntum mawar itu dengan perasaan berbunga-bunga. Rasanya kamar ini
dipenuhi oleh taburan bedak cinta.
“Apa kau tidak ingin mengatakan
sesuatu kepadaku?”
Lantas Nisa mendekat dan berbisik di
telingan Farhan,
“Kau bahkan sudah mewisuda
hatiku sejak lama, I love u, suamiku”
***
ciee nikah.. :P
ReplyDeleteciee kenapa itu???
ReplyDeletejangan pembacanya pada senyum-senyum karena kepingin...hehe :P
biasanya judul tulisan mencirikan keinginan penulisnya :P
ReplyDelete