HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

Diary di Sudut Hati


Oleh : Khaura El-Syada
(3rd Winner of Writing Competition of Health Story in Medicine Faculty of UIN Jakarta)

            Hembusan angin menyapa seolah rindu karena telah lama menungguku. Sudut ini, sudut awal dan akhir langkahku, mungkin. Itulah awal langkahku saat peluh perjuangan masih ada dalam genggaman. Saat aku masih sanggup berdiri tegak lantas meneriakkan asa atas cita mulia. Aku tertawa lantang menantang angin untuk berhembus lebih kencang seperti semangatku yang tinggi mengudara. Sudut ini, sudut cinta di kampus “berlubang”, sudut depan mushola, sudut terbuka nan luas adalah sudut tempat kisahku bermula.
            Kini aku bukan lagi tertawa lantang, tapi lebih tepatnya mungkin meringis, perih.  Kadang dengan iseng aku berteriak memanggil teman-temanku jauh di empat lapisan terbawah gedung ini. Sekarang tuk ucap kata saja aku tertatih, bagaimana bisa aku berteriak?. Aku hanya bisa mengamati sekitar sudut ini sembari menikmati sapaan rindu dari hembusan angin. Ternyata sudut ini tetap sama walau aku tak lagi pernah datang setelah sekian lama. Pemandangannya pun tak banyak berubah, melihat jajaran atap perumahan elit dekat kampus, pepohonan yang menjulang dan terlihat pula tempat parkir dengan barisan rapi motor bak barisan tentara yang sedang upacara, serta hal spesial adalah pot tanaman dengan ukiran namaku.
            Tangisanku pecah, setiap memori menyeruak menyesakkan dada. Rasanya aku ingin cepat terjaga tapi fakta terbuka lebar di depan mata. Ya Allah Sang Maha Bijaksana, Berikan pula aku kebijakan untuk menerima Qadha’ dariMu atas puzzle sendu yang menimpa diriku.
            “Sasa..”
            “Mama.., Ssa..Ssa sen..naang bbi..ssa ke ssii..nii” Ucapku terbata-bata dengan segenap tenaga. Tak ada jawaban kata, perlahan air mata terjun dari mata sayunya lantas memelukku erat.
¤¤¤
            Riuh tepuk tangan bak suara yang menggema, tertawa lepas hilangkan beban, saling berfoto tuk abadikan momen terakhir, itulah potongan memori saat itu. Wajah riang nan sumringah terlukis jelas di setiap insan karena sebentar lagi tak ada lagi yang namanya seragam putih abu-abu. Teman-teman berebutan berfoto bersamaku yang sedang memakai mahkota siswa lulusan terbaik. Mama dan Papa melihat dari kejauhan sambil tertawa begitu bangga padaku dan mengacungkan jempol. Seperti ada sebuah magnet, aku berlari penuh arti tanpa aba-aba, aku songsong Mama dan Papa lantas mereka memelukku hangat.
            Tidak susah bagiku mencari tempat untuk melanjutkan studi di jenjang perkuliahan. Tapi aku bukan tipe yang takluk begitu saja, aku suka yang penuh tantangan. Dan herannya lagi aku telah jatuh hati dengan sebuah kampus yang unik. Aku tidak pernah tau bagaimana dalamnya. Design bangunannya unik, terlihat eksklusif. Aku suka melihat taman indah di depan kampus itu, selintas aku melihat sebuah kolam dengan pancuran air di pojok belakang kampus itu dengan tempat duduk di dekatnya. Yang terunik dan paling aku suka adalah dinding berlubang yang menjulang itu seolah berkata ‘Kau Boleh Mengintip Sepuasnya’. Sungguh designnya sangat berbeda dengan kampus lainnya dan aku sangat menyukainya.
            Passion kuliah yang aku ambil bukan dorongan dari orang tua, bukan pula keinginan sedari kecil. Kelihaianku dalam berbicara menuntunku ingin menjadi seorang Diplomat. Tapi aku memutuskan untuk mengambil bagian lain karena ada sebuah trauma. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
***
            Kejadian dimana aku melihat adik kandungku digerogoti sebuah penyakit dalam beberapa bulan saja. Dia tergeletak tak berdaya di Rumah Sakit dan angin masa sudah berhembus tapi diagnosa dokter tak kunjung tegak. Obat yang dia minum hanyalah pereda gejala agar tidak semakin sakit. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, ada lebam di beberapa anggota tubuh. Tiap malam dia mengigau ingin bermain, rindu katanya. Saat dokter memeriksanya aku yang paling giat bertanya apakah penyakitnya sudah diketahui karena kondisi adikku makin melemah saja. Tapi dokter menggeleng dan aku kembali geram. Sampai akhirnya Papa dan Mama malam itu dipanggil ke ruangan dokter. Aku menunggu gelisah berharap bukan penyakit yang aneh. Saat mereka berdua keluar dari ruangan dokter, Mama menangis tersedu dan Papa mencoba menenangkan. Aku tahu ini bukan kabar yang menggembirakan. Aku tidak berani bertanya lebih jauh. Sampai saat aku mendengarkan dokter berkata kepada seorang perawat untuk merujuk adikku ke sebuah Rumah Sakit yang namanya tak asing bagiku. Aku menyeruduk menemui dokter, menyela percakapannya. Dan Dokter itu memandangku,
            “Apakah kau sangat menyayangi adikmu?”
            “Iya, sangat”
            “Adikmu....”
            “Dok, beritahu aku apa penyakitnya?” aku menyela basa-basi yang akan dia lontarkan.
            “Leukimia. Kau tahu apa itu?”
            “Tidak. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa menyelamatkan adikku?”
            “Berdoalah sebanyak-banyaknya. Nanti saat kondisi adikmu sudah jauh lebih baik, ajaklah dia bermain,” Dokter itu berlalu sambil menepuk pundakku.
            Tidak lama kemudian, dalam hitungan hari adikku sudah pergi tanpa sempat mengajaknya bermain. Usiaku saat itu tepat 14 tahun. Saat aku kehilangan seorang adik yang sangat aku sayangi, aku bertekad ingin menjadi seorang dokter. Aku ingin bisa berperan dalam menyembuhkan seseorang karena kehilangan orang yang tersayang itu sakitnya begitu luar biasa, seolah ada lubang hitam begitu besar saat tahu bahwa aku tidak bisa menyelamtkannya, sebuah luka batin di saat terakhir melihat matanya tertutup perlahan meninggalkan kefanaan duniawi.
***
            Tidak begitu susah tapi juga tidak begitu mudah, setelah melewati serangkaian tahap ujian dengan begitu banyak pesaing akhirnya aku lolos. Rasanya aku begitu bahagia telah diterima di Fakultas Kedokteran. Dan lebih bahagia lagi aku diterima di kampus ‘berlubang’ itu, kampus idamanku. Papa dan Mama memberikan dukungan begitu besar pada anak semata wayangnya ini.
            Langkah awalku saat itu adalah berjalan-jalan melihat seluk-beluk kampus dari lantai dasar hingga lantai atas. Duduk di perpustakaan membuatku merinding melihat buku-buku kedokteran yang nantinya akan ku lahap rata-rata begitu tebal. Aku lanjut menaiki tangga lantai dua, tidak ada yang spesial. Aku hanya melihat sebuah ruangan besar bertuliskan auditorium. Sampai akhirnya aku menemukan tempat spesial di lantai 4. Tepat di depan sebuah musholla ada pintu menuju hamparan luas layaknya balkon dengan hiasan beberapa tanaman. Banyak pemandangan yang bisa dilihat dari atas sini, aku menemukan spot terbaik yang aku suka di kampus ‘berlubang’ ini.
            Bukan Mahasiswa jika tidak ada orientasi. Mahasiswa benar-benar dituntut berpikir kritis dengan permasalahan berbagai bidang, khususnya kesehatan. Dengan bakat diploma-ku yang mungkin ini gen dari ayah, aku aktif berpendapat ini itu di forum. Teman-teman sampai tak asing lagi denganku. Langkah pertamaku ini berhasil menggaet banyak teman. Satu yang aku ingat pesan dari ayah untuk mencari teman sebanyak-banyaknya karena itu penting untuk relasi ke depannya.
            Masa Orientasi benar-benar menghabiskan tenaga. Disiplin waktu, disiplin tugas, terlatih untuk bertanggungjawab. Satu yang aku tidak suka dengan konsep orientasi yang ada adalah senioritas dengan ciri membentak mahasiswa dengan alasan latihan mental. Itu alasan klise menurutku. Untuk orang sepertiku yang menyukai tantangan, ini adalah hal wajar. Bagaimana dengan teman-teman yang lain? Kadang mereka begitu lesu karena tertekan dan banyak lagi kisah lainnya. Hingga akhirnya di ujung orientasi ini ada sebuah penghargaan mahasiswa baru terbaik sekaligus teraktif dan nama yang disebutkan adalah ‘Sasa’, namaku.
            Entah kenapa tapi aku mulai tenar dibicarakan. Bakat diplomat dari Ayah ini tidak main-main ternyata. Aku memiliki banyak teman dari mulai yang satu tingkat sampai tingkat atas. Nasehat Ayah ada benarnya, seringkali saat berbicara dengan kakak tingkat banyak sekali masukan yang aku terima sebagai seorang Mahasiswa baru. Aku memang bukan tipe orang yang terbiasa diam. Ingin aktif di sana sini, berbagai pergerakan. Banyak sekali nasehat bahwa tidak semua pergerakan Mahasiswa itu baik dan Mahasiswa Kedokteran biasanya memiliki jam terbang perkuliahan yang begitu padat. Semua nasehat itu aku cerna dengan baik untuk mulai memilah dan memilih agenda ke depannya.
***
            Kampus ‘berlubang’ ini sekarang sudah sangat akrab bagiku. Perkuliahan begitu padat, kadang jenuh dan merasa otak ini sudah kepenuhan. Di saat-saat seperti inilah aku datang ke sudut kesukaanku, sudut depan mushola. Tempat ini jika diamati adalah tempat strategis namun jarang bahkan tidak ada yang suka mengunjunginya seperti diriku. Aku suka menikmati hembusan angin seolah bisa sambil bercerita meluapkan segala keluh kesah agar angin membantu menampung lalu membuang semua keluh itu. Melihat pemandangan dan sesekali mengamati gerak-gerik orang yang datang dari tempat parkir, kadang ada yang bercanda satu sama lain, ada pula yang jalan sendiri menunduk, lantas ada pula yang berjalan mesra. Ketika sifat usilku kambuh, terkadang aku berteriak memanggil nama mereka, lantas bersembunyi.
            “Sasa, masih aja melamun di sini. Ada yang mencarimu,” Laila, teman dekatku yang pasti tahu aku ada -di mana- saat aku tidak di kelas.
            “Siapa?”
            “Aku tidak tahu namanya, sepertinya kakak tingkat. Sudahan dulu curhat sama anginnya, ayo ke sana,” celetuk Laila. Dia yang mencariku itu artinya dia yang membutuhkan, enak sekali aku yang harus datang mencarinya, pikirku. Egois.
            “Dia tidak mungkin ke sini, sa. Kau tahu sendiri ini ada di depan mushola khusus cewek. Nanti pada marah lagi dikirain dia lagi ngintip,” Ujar Laila seolah dia tahu isi kelapaku. Aku pun menyeret langkahku menghampiri kakak tingkat itu.
            “Halo, Sasa”
            “Iya, kak. Ada apa?” Todongku langsung tanpa basa-basi.
            “Begini, sa. Beberapa bulan ke depan dari jurusan kedokteran akan mengadakan kunjungan ke Harvard University. Pesertanya boleh siapa saja yang mewakili setiap angkatan. Dan setelah audiensi bersama tim dosen, kami sepakat untuk tingkat II yang mewakili adalah kamu. Dari tingkat IV ada aku, dari tingkat VI ada Irfan dan tingkat VIII ada Fika. Sudah aku bawakan semua dokumen terlampir, nanti kamu baca dulu dan setelah itu lengkapi semuanya yang ada di sini jika kamu sudah bersedia,” Todonganku dibalas pula dengan penjelasan singkat yang jelas dan tanpa basa-basi.
            “Pemilihan ini disampaikan ke setiap angkatan atau tidak?”
            “Pasti disampaikan kok. Dua minggu lagi ada acara dari tim dosen yang mengumpulkan semua angkatan dan ini akan disampaikan secara resmi. Saat itu dokumen ini harus sudah lengkap kamu isi ya, nanti jika ada pertanyaan lebih lanjut via sms saja”
            “Baiklah. Makasih, kak Ryan”
            Seakan masih tidak percaya, aku masih berdiri di tempat, mematung. Sampai akhirnya Laila menyadarkanku.
            “Kok diam, sa? Habis ditembak ya?” Laila tanpa ba-bi-bu langsung mengejutkanku dari belakang.
            “Iya, makanya aku mati di tempat,” Ujarku sambil mencibir olokannya dan berlalu masuk ke dalam kelas. Laila terus membuntuti dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Untung saja, dosen sudah datang jadi aku tidak harus banyak bercerita kali ini.
***
            Tiba hari itu, hari dimana semua anak kedokteran dikumpulkan. Aku begitu resah akhir-akhir ini, takut jika nanti keputusan tim dosen memilihku ditentang oleh teman lainnya. Maka kusempatkan sejenak menenangkan diri di sudut kebanggaanku.
            “Sasa,” Ada suara yang mengejutkanku.
            “Loh, Kak Ryan?”
            “Kata Laila kamu ada di sini, acara sudah  dimulai tapi kamu masih belum muncul juga, ayo kita ke ruangan aditorium sekarang, sa”
            Aku pun melangkah, tiba-tiba tubuhku tidak seimbang seakan mau jatuh. Kak Ryan memegang pundakku.
            “Kau kenapa, sa?”
            “Ah, baik-baik saja. Hanya sedikit oleng,” Ucapku seadanya.
            Kita berjalan bersama masuk ke dalam ruangan. Tim Dosen sudah bercuap-cuap lama sepertinya dan tibalah saat dia akan mengumumkan nama-nama itu. Dibacakan mulai tingkat teratas, sampai namaku disebut untuk wakil dari tingkat II. Dugaanku salah, mereka bersorak gembira, meneriakkan namaku dan juga bertepuk tangan. Aku melangkah naik ke atas panggung bersama wakil lainnya. Salah satu dari kami berempat memberikan serangkaian kata terimakasih, meminta dukungan dan do’a. Tiba giliranku untuk turun dari panggung. Seperti sebelumnya yang aku rasakan saat bersama Kak Ryan di sudut kebanggaan. Badanku tiba-tiba tidak seimbang, langkahku gontai, dan saat kakiku akan melangkah ke anak tangga selanjutnya, badanku jatuh ke depan dengan posisi kepala jatuh terlebih dulu dan bau anyir darah tercium setelah itu gelap.
***
            “.....Sa, saat kamu terjatuh kita begitu khawatir. Apa yang kamu rasakan saat itu?”
            Laila bercerita panjang kepanikan di auditorium saat aku terjatuh. Kak Ryan langsung menggendongku dan membawaku ke ruangan medis. Beberapa dosen memberikan pertolongan pertama dan dosen lainnya mengondisikan keadaan di auditorium dan melanjutkan acara karena ada beberapa hal penting yang harus disampaikan. Aku tidak merasakan apa-apa saat itu. Papa dan Mama menjemputku dan merujukku ke Rumah Sakit. Seorang Dosen menyarankan untuk check up karena ini juga berkaitan dengan keberangkatanku nanti mengikuti kunjungan ke Harvard.
            Aku merasa sehat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan walaupun hasil check up dari Rumah Sakit belum ada. Kegiatan di kampus seperti biasa aku lewati, ujian sudah usai. Aku hanya perlu mengurusi beberapa dokumen terkait satu bulan lagi aku berangkat. Beberapa hari ini aku membuktikkan bahwa aku sehat-sehat saja dan akhirnya mereka sepenuhnya percaya bahwa tidak ada masalah.
            Hari selanjutnya, aku ke perpustakaan ingin mencari beberapa buku tentang sistem saraf yang berkaitan dengan keseimbangan. Bukan ‘Sasa’ namanya jika tidak kritis dengan keadaan sendiri. Kejadian terjatuh tiba-tiba yang menyisakan luka di kepala saat pertemuan besar belum aku temukan alasannya. Saat aku sudah menemukan buku yang aku cari dan meminjamnya, aku langsung bergegas pergi. Saat aku akan mengambil tas yang ada tepat di kakiku, berkali-kali aku mencoba meraihnya tas itu tidak bisa aku ambil. Sampai akhirnya aku jongkok dan mengambil tas lalu aku dekap dengan kedua tanganku. Aneh, pikirku.
            Dering telpon mengejutkanku,
            “Sa, kamu di mana? Mama sudah menunggu kamu di mobil dekat pos satpam ya? Kita ada janji mengambil hasil check up di Rumah Sakit,” Aku menepuk jidat karena lupa ada janji sama Mama.
            “Iya, Ma. Sasa segera ke sana”
            Aku ingat ngotot minta ikut ke Rumah Sakit melihat hasil check up. Alasannya, aku ini Mahasiswi Kedokteran yang juga tahu masalah medis. Mama pun akhirnya mengajakku hari ini. Semoga hasilnya bagus dan tidak ada yang mengkhawatirkan, Amin.
***
            Dokter menjelaskan bahwa yang perlu dikhawatirkan adalah hasil x-ray otak. Ada permasalahan pada otakku jika melihat gambar perbandingan antara otak normal dan gambar otakku. Dokter menjelaskan banyak hal dan itu membuatku sangat khawatir.
            “Dok, saya akan melakukan perjalanan kunjungan ke Harvard bulan depan. Apakah hal ini akan menjadi faktor pengganggu atau saya harus menyampaikan ini sebagai rekam medis yang mengkhawatirkan dan mengundurkan diri?” Aku jelas melihat mimik dokter yang begitu terkejut dengan pertanyaan tanpa basa-basi ku.
            “Iya. Kamu telah menangkap penjelasan saya dengan baik,” Dokter itu tersenyum renyah.
            “Dok, apakah ada tindak lanjut dari pemeriksaan ini?” Kini Mamaku yang mulai khawatir.
            “Iya. Senin depan kembali lagi untuk kontrol kedua. Nanti akan kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
            Sepulang dari Rumah Sakit, aku membaca buku tentang penyakit-penyakit sistem saraf sembari membuat catatan kecil. Setelah aku membaca ulang dan mencermati kembali ringkasanku, ternyata tulisannya miring dan tidak teratur. Aku semakin heran. Susah sekali untuk menulis lurus satu baris, bahkan saat aku paksa tanganku sampai gemetar dan tulisanku semakin merumput.
***
            “Kak Caca, salam ke Mama sama Papa ya,” Adikku merajuk di sampingku.
            “Iya dek. Nanti kak Caca salamin ke Mama dan Papa”
            “Makasih, kak” Lantas adekku memelukku erat sekali. Aduh, ini kebiasaan adek mulai deh, pikirku.
            “Kak, mau maen sama adek nggak? Yuk”
            “Iya, habis ringkasan kakak selesai ya, dek” Suara adikku berlari keluar kamar begitu gaduh. Selesai menulis ringkasan, aku menyusulnya. Mencari dia di setiap sudut rumah sampai aku kebingungan.
            “Dedek dimana? Katanya mau maen?” Teriakanku berkali-kali tak kunjung ada jawaban. Aku panik dan tiba-tiba aku terjaga dari mimpi. Seakan masih tak percaya, aku mencoba menampar pipiku dan ternyata sakit.
***
            Bangun dari tidur, tubuhku lemas bak daun yang sudah seminggu tidak pernah disiram. Saat aku turun dari tempat tidur, tiba-tiba kakiku susah sekali digerakkan. Aku berjalan tertatih, seperti bayi yang baru mulai belajar berjalan setelah lancar merangkak ke sana kemari.
            “Mamaa.....Mamaa” aku berteriak panik keluar dari kamar dengan usaha keras.
            “Ada apa, sayang?” Mama datang dari arah belakangku.
            “Ma, kakiku susah dibuat untuk jalan. Padahal hari ini Sasa mau ke kampus”
            “Kakimu kenapa? Kita ke dokter saja ya hari ini” Mama mulai khawatir melihat gaya berjalanku seolah aku adalah anak bayi yang baru bisa berdiri.
            “Iya deh, Ma”
***
            Dengan berbagai pemeriksaan lebih lanjut dari dokter. Setelah melalui proses panjang, diagnosa penyakitku mulai tegak. Sejak hari itu-lah aku didiagnosa oleh dokter bahwa aku menderita Spinocerebellar ataxia (SCA). Sebuah penyakit degeneratif saraf yang mengakibatkan gangguan keseimbangan dan banyak sekali berdampak pada sistem saraf motorik. Semuanya berubah, aku mengalami banyak kesulitan. Sulit berjalan, sulit menulis bahkan memegang pulpen pun kadang tak bisa, susah meraih objek yang ada di sekitarku. Laila ditunjuk sebagai penggantiku untuk pergi ke Harvard. Dia berjanji akan membawakan obat terbaik untukku dari sana.
            Aku mempelajari secara khusus tentang SCA ini bersama dosenku dan untuk segala kemungkinan yang terjadi nanti. Teman-temanku sering datang ke rumah membawakan aku buku-buku baru untuk aku baca di sela waktu kosong di rumah. Sejak aku harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu jalan, aku memutuskan untuk tidak lagi pergi ke kampus, mungkin sesekali saja dan pada saat itu teman-teman menyambutku bak menyambut seorang ratu. Aku bahagia tidak ada yang berubah dengan berubahnya kondisiku. Hal yang tak terlupa adalah ketika Kak Ryan datang ke rumahku,
            “Sa, Bagaimana kabarmu?” Kak ryan membuka percakapan kaku kami.
            “Aku baik-baik saja, kak. Jangan terlalu khawatir padaku. Nanti aku titip oleh-oleh dari Harvard ya,” Seceria mungkin aku menjawab pertanyaan itu agar dia tidak khawatir dengan keadaanku.
            “Iya. Sa, aku yakin kamu terpilih merasakan semua ini karena ada suatu tujuan tertentu. Dan yang aku tahu, sudut tempat kamu suka melamun kini merindukanmu,” Ucapnya sebelum berpamitan. Dan esok hari aku memutuskan untuk pergi ke kampus, sudut itu penuh sekali dengan bunga yang sedang bermekaran. Dan ada tulisan Sasa di setiap pot bunga itu. Ah, indahnya. Kak Ryan mengulum senyumnya saat melihatku begitu sumringah dengan suasana baru di sudut itu.
***
            Keadaanku semakin lama semakin melemah. Bahkan untuk berbicara saja kadang begitu susah. Buku yang sedang aku tulis tentang SCA sudah selesai. Buku itu berisi tentang segi medis SCA, dari mulai gejala, tipe SCA dan ada kisah yang ku selipkan sebagai motivasi hidup. Sekarang aku sudah tidak lagi di rumah. Tapi aku berada di Rumah Sakit. Pemantauan penuh dilakukan oleh dokter. Mama dengan setia menemaniku, kadang bergantian dengan saudaraku yang lainnya. Aku beruntung kamar ini tidak pernah sepi.
            Suatu hari kamar ini juga begitu ramai dengan kepulangan teman-teman dari Harvard yang membawakanku banyak sekali oleh-oleh. Mereka ramai sekali berbagi cerita dari mulai awal sampai akhir perjalanan. Dan mereka juga memberikan undangan padaku dari kampus untuk hadir di pertemuan besar sekaligus ada sumpah dokter. Di sana nanti akan diadakan launching buku pertamaku walaupun sebenarnya dari pihak penerbit belum menyebarluaskan cetakan karena harus ada beberapa revisi. Tangisku pecah, bahagia. Aku merasa seolah menjadi tamu kehormatan.
            Kini aku mulai menyadari, Allah begitu Adil. Sedari kecil rasanya hidupku terlalu sempurna. Tamparan terbesar adalah saat adikku telah tiada. Dan selebihnya, semua berjalan lancar sampai aku mendapati penyakit ini. Di tengah segala ujian yang Dia berikan banyak sekali berkah dan banyak sekali yang harus aku syukuri. Ini kah JalanMu, Ya rabb?
            ¤¤¤
            “Sayang, acaranya sudah mau dimulai. Ayo, kita cepat ke sana,” Mama melepas pelukannya dan berbicara begitu tenang. Papa berdiri di seberang pintu sudut lantai 4, melihat kita dengan tatapan penuh cinta.
            “Inikah sudut kesukaanmu, sa?” Ayah berjalan mendekat.
            “Iya..Lii..hat.., Ppoot Ta..nnaa..maan ii.ttu berr..tuulliis..kan naa..maa..ku, Paa”
            “Iya, Sasa sayang. Indah sekali. Sudah berapa menit kamu duduk di sini melepas rindu. Sekarang ayo kita bersama ke tempat acara,” Aku mengangguk. Tiba-tiba Kak Ryan datang, dengan satu tangannya disembunyikan di balik punggung. Dia mendekat dan setengah berlutut di samping kursi roda lantas memberikanku setangkai mawar yang begitu indah bertuliskan,
Congratulation for dr. Sasa in launching a new book
“The Spinocerebellar ataxia (SCA) and Behind  The Stories”
-Ryan-
            Ryan, sosok yang selalu penuh dengan kejutan. Aku begitu bahagia hari ini. Ryan meminta izin mendorong kursi roda dan ikut mengantarku masuk ke dalam auditorium. Undangan yang hadir begitu penuh. Ada sebuah spanduk besar bertuliskan Award for dr. Sasa. New Book “The Spinocerebellar ataxia (SCA) and Behind  The Stories”. Pipiku hangat oleh air mata. Sebuah sambutan yang menurutku terlalu berlebihan tapi membuatku begitu suka cita. Dan tibalah saatnya aku naik ke atas panggung menyampaikan sedikit sambutan tentang buku baruku.
            “Assa..llaa..mmu..a.llai..kkumm waa..rrah...maa..tullahi wa..bbarakatuhh.. Ssa..yaa berr..terima...kkaasih attaas samm..buutaan yang be..ggitu meriaaah. Ssaa..ya perrr..nah berrmimm..mmpi bertee..mmu denggaan almarr..humah add..dik saya yaa..ng menittiipkkan ssaalam un..ttuk Papa dddan Mamma. Sse..jjak ittu ssaya berr..pikkir mmung..kkin ssuddah wakk...ttu ssaya sekarrang untt..tuk perr..ggi. Tteetta...pi, Ssa..ya tiddakk ingiin per..ggi begg..ituu saja untt..ukk ittu ssaa..yaa ing..inn mem..bberrikaan ssebb..buah bbu..kku yangg bbisa ddi bba..ca olleh ssemmua orang, yyaang bbi..sa memmbe..rrikkan manffa..at bessar un..ttuk duunia meddis yaangg sekka..lliguss beerr..issi mmotivas..si. Ssa..ya bbe..lluum perr..nah mmenemukk..kkan sebbe..llumnya, tappi sekkarr..ang Ssa..ya tell..ah mene..mukkannya, yyaa..itu pribb..badi yaang sii..ap ddi jem..pput kka..renna rinddu pada Ttuhan. Ddan Pribadd..di ittu adda..llah Ssa..ya.. Sella..mmat unttuk se..llurr.rruh dokk..terr ba..rru dan Teerrii..mma kkass..sih.”

            Tepuk tangan langsung menggema ke udara walau aku menyampaikan kata-kataku tertatih dan terputus-putus. Aku melihat beberapa orang bahkan menangis, entah aku bingung apa yang mereka tangisi. Kini aku benar-benar siap melepas semuanya dan aku berharap bisa menjadi serpihan memori tak terlupa yang bermanfaat bagi seluruhnya. Terakhir aku ingin sekali mengucapkan,
            “Terima kasih atas pilihan jalan hidup dariMu, Ya Rabb. Terima kasih Papa, Terima kasih Mama, Terima kasih adekku, Terima kasih Ryan... dan Terima kasih sudut tercinta kampus ‘berlubang’-ku. Banyak kisah terangkai dari setiap cinta di sudut hatiku karena kalian selalu ada di sisiku.”

.END.
           
                        

0 komentar:

Post a Comment