HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

Sarjana Karbitan

Sedang iseng di kampus tidak ada kerjaan.

Tadi saat makan siang, salah satu temen nyeletuk kata yang menarik, yaitu Sarjana Karbitan. Baru saja beberapa hari yang lalu, saya berbicara tentang mahasiswa pragmatisme di depan orang banyak. Paling tidak masih dalam satu pembahasan yang sama lah. Intinya, melihat fakta mahasiswa yang ada sekarang sekaligus juga sedikit menilik ke sistem pendidikan.

Saya menulis ini berangkat dari kemirisan melihat keadaan sekitar saja.  Di kampus, sedang ada pembelajaran ekstra-cepat, alias ngebut. kenapa?
Beberapa dosen saya yang luar biasa beberapa hari lagi akan berangkat ke Jepang. Saya sendiri kurang tahu alasan pastinya. Yang jelas, sekarang beberapa dosen itu mengejar materi yang harus disampaikan dan bisa dibilang mahasiswa dan dosen sekarang jadi kejar-kejar an. Dosen ngejar Mahasiswa biar dapat waktu tambahan perkuliahan untuk menuntaskan kewajibannya secepat mungkin, mahasiswa juga tidak mau kalah ngejar dosen jika ada waktu kosong, biar lebih efektif. (baca : kuliah cepet kelar)

Bisa membayangkan? ada sekitar 20 sks lebih pada semester ini, ditambah dengan mengejar selesainya materi dari dosen-dosen tersebut dan bla bla bla. Ya, berat sekali minggu ini atau lebih tepatnya kuliah semester ini. Sepertinya saya sedang balap motor. Ternyata bukan hanya saya yang merasakannya, tapi juga beberapa mahasiswa lainnya, sampai salah satu teman tadi ada yang nyeletuk saat makan siang.

"Bagaimana kita bisa bener-bener faham jika kejar-kejaran begini? Adanya kita malah jadi Sarjana Karbitan"

Tidak ada yang salah dari pernyataan teman saya itu karena memang benar begitulah adanya. Miris memang. Harus lari lebih dari maraton. (lebay)
Ini yang seharusnya kembali diluruskan, dengan lari maraton seperti itu, hanya berapa persen materi yang tersampaikan dan terserap oleh mahasiswa? jika tidak maraton aja paling enggak berapa puluh persen. Apalagi jika lari maraton? Ngosh Ngosh...
Lalu siapa yang salah? Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa kok di sini. Netral. Harusnya ada kebijakan untuk dosen-dosen atau sebutlah tenaga pengajar itu bisa lebih fokus dengan pembelajaran dan apabila ada kegiatan terkait seperti hal di atas, maka lebih bijak jika dilakukan saat liburan atau saat tugas yang seharusnya ditunaikan sesuai rencana telah tuntas dilaksanakan.



Itu sekilas fakta di sekitar saya. Nyambung ke kesempatan lain beberapa hari yang lalu saat saya memaparkan tentang mahasiswa pragmatisme. Ada sebuah pernyataan yang saya ingat :

"Kewajiban Mahasiswa itu adalah belajar. Ya, itu benar. Tapi sekarang kata 'Belajar' sendiri telah mengalami distorsi makna. Belajar lantas diidentikkan dengan IP 4.0 dan lulus tepat waktu. Belajar identik dengan embel-embel nilai yang wahhh. Padahal itu adalah nilai yang semu. Sehingga, banyak Mahasiswa lantaran melakukan apa saja untuk mencapai target IP 4.0 (baca : manghalalkan segala cara). Tidak malah menitikberatkan pada pemahaman dan aplikasi dari keilmuan. 
Dan ada lagi sebuah contoh kecil, misal Mahasiswa farmasi atau jurusan lainnya hanya mau peduli dan belajar tentang farmasi, belajar tentang lingkup jurusannya saja, lepas dari belajar tentang kepemimpinan, agama, dll. Sebuah survey dilakukan oleh seseorang (saya lupa namanya), bahwa kebanyakan IP 4.0 nanti hanya akan mengantarkan mahasiswa sampai pada wawancara kerja, namun tahap selebihnya akan lebih dinilai dari kepemimpinan dan aspek lainnya. 
Melihat fakta-fakta yang ada, Mahasiswa cenderung pragmatis, tidak mau tahu permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, alih-alih memberikan solusi. Malahan seringkali Mahasiswa menjadi pusat permasalahan yang ada seperti tawuran, demo anarkis, dsb.
Ada yang aktif, namun terkadang beberapa mahasiswa aktif di suatu organisasi untuk mengisi waktu kosong atau menyalurkan hobi, tidak benar-benar bertujuan untuk memperjuangkan perubahan hakiki, memperjuangkan kebangkitan atau juga memberikan solusi atas permasalahan umat."

Ada sebuah pendapat yang saya ambil, yang ternyata tulisan ini tidak jauh berbeda judulnya dengan tulisan kali ini, yaitu tentang generasi karbitan, namun jika di sini saya lebih mengambil ke sudut lulusan sarjana, pihak yang satu ini lebih menilik kepada pendidikan secara umum di tingkat TK, SD, SMP, SMA. 
"......Sistem pendidikan kita sepertinya lebih memiliki tendensi terhadap orang-orang yang berkepentingan, kurikulum ganti-ganti, tahun ini EBTANAS tahun berikutnya UAN, tahun ini UAN 5 mata pelajaran tahun berikutnya 3 mata pelajaran, dan bla..bla..bla tentang hal yang tidak urgent!!! Keadaan ini diperparah dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang memegang prinsip GENGSI is number one. “Eh jeng, anak saya yang umur 2 tahun udah bisa baca koran lho…”, “Waaahh, Ibu bangga adek udah bisa nulis”, “Kasian tuh jeng Vina, anaknya udah 4 tahun tapi belum bisa baca”… atau mungkin “Eh, anaknya keterima di Universitas mana? Fakultas apa?” itulah ungkapan-ungkapan yang sering muncul di masyarakat kita yang akhirnya memunculkan budaya “Membuat anak cerdas cara instant” dan hasilnya adalah GENERASI KARBITAN. Anak-anak yang seharusnya menikmati permaianan mereka harus dibebani dengan les ini les itu, anak-anak yang harusnya belajar bersosialisasi terlalu dibuat sibuk dengan PR-PR mereka, dan banyak lagi kekerasan terhadap anak yang secara tidak sadar telah dilakukan oleh orang tua mereka.
Nah, generasi karbitan inilah yang kini mengisi pembangunan di Indonesia. Generasi yang sudah muak dengan rumus-rumus matematika, fisika, dan kimia. Generasi yang otaknya sudah penuh dengan hapalan nama-nama menteri Orde Baru, UUD 45, tanggal-tanggal di dalam buku sejarah, pengertian sosiologi menurut ini..menurut itu. Generasi yang sudah bosan untuk belajar........"


Terbayang?
jika sejak pendidikan dasarnya sudah dimindset seperti itu lantas bagaimana saat menjadi mahasiswa???

Masih belum bisa memaparkan secara global tentang sistem pendidikan, mungkin akan disambung lagi di lain kesempatan. (jika sempat ya... :D)
Tulisan ini hanya berangkat dari celetukan teman saja sih. hehe...
*iseng tapi semoga bermanfaat*
Dari celetukan tadi, Lantas bagaimana menurut anda?

2 komentar:

  1. Sistem pendidikan kita memang sudah dalam taraf mengkhawatirkan,mbak..Btw,terima kasih sudah pernah mampir di blog saya :)

    ReplyDelete