HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

Muslim vs Mu'min


             Sesuatu yang jarang pulang siang hari, jadi ini adalah momen yang harus dimanfaatkan. Sebelumnya pergi ke kantor pos untuk mengambil suatu kiriman penting, lalu karena habis panas-panas sampai di kamar langsung tepar. Hehe... (Apa sih? Ndak nyambung sama judulnya..>_<)
Sabar....^_^
            Setelah istirahat, tiba-tiba ada buku di rak yang menarik untuk saya baca. Buku itu ditulis oleh Abay dengan judul “Menggenggam Bara Islam”. Bahasanya ringan, enak sekali dibaca sampai tidak sadar tiba-tiba dari jendela, langit sudah tampak semakin gelap. Dari beberapa halaman yang sudah saya baca, ada hal yang menarik dan saya angkat menjadi judul tulisan kali ini karena saya sendiri sering salah memahaminya, tentang perbedaan muslim dan Mu’min.
            Pernah seorang teman saya mengatakan bahwa dia hanyalah seorang muslim yang masih pada tingkatan muslim belum sampai tingkatan Mu’min. Saat itu saya bingung dengan apa yang dia kemukakan, alih-alih saya bertanya kembali malah menyimpulkan sendiri “Oh, Mu’min itu ada pada tingkatan yang lebih atas dari pada muslim”, entah itu secara definisi atau yang lainnya. Pemahaman awal saya muslim dan Mu’min malah sama saja. Saya sendiri juga bingung. Dan kebingungan itu sedikit terjawab dengan pemaparan dalam buku ini.
            Sebelum detail membahas muslim dan Mu’min. Penulis dalam buku tersebut juga mengutip analogi yang pernah dikemukakan oleh Salim A.Fillah tentang status amal orang kafir.
            “Orang beramal itu seperti perlombaan berlari. Tentu saja setiap peserta memiliki nomor punggung atau nomor dada. Ketika peluru sudah ditembakkan ke udara, semua peserta lari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ada seseorang yang berlari dengan sangat cepat, bahkan mengalahkan yang lainnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nomor punggung. Dengan kata lain, dia bukan peserta. Dan ternyata, lelaki yang tidak memiliki nomor punggung itulah yang pertama kali sampai ke garis finish. Ya, dia mengalahkan yang lainnya. Anggap saja Anda jurinya. Pertanyaannya, apakah Anda akan memenangkan lelaki yang tidak bernomor punggung itu? Tentu tidak kan? Lha wong dia tidak terdaftar, dia bukan peserta.”

            Perumpamaan itu juga yang akhirnya sering saya gunakan saat bercerita dengan beberapa teman saya. Perumpaan yang menarik bukan? Analogi itu kembali menegaskan bahwa, ada pembeda antara amalan orang kafir dan orang muslim. Apa bedanya? Bedanya terletak pada nomor punggung itu. Nomor punggung pada analogi tersebut adalah Syahadah. Kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadah itulah pendaftarannya.
“Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat dan mereka sekali-sekali tidak memperoleh penolong.” (TQS. Ali ‘Imron : 22)
            Masih tentang kesaksian. Ketika seorang manusia telah bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dialah yang kita sebut sebagai orang yang beriman alias Mu’min. Tapi tidak semua orang yang beriman bisa dikatakan muslim. Mengapa? Sebab Muslim adalah sebutan khusus orang islam saja. Tidak untuk yang lain.
            Bingung? Mengapa harus bingung?
            Tidak setiap Mu’min termasuk Muslim. Bukankah pemahaman seperti ini sudah lazim di kalangan ulama-ulama terdahulu. Justru sebuah kesalahan jika kita menyamakan antara Mu’min dengan Muslim karena definisi Islam telah jelas, yaitu agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, yang mengatur urusan manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri (Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual).
            Dari defenisi tersebut, mari kita mengkaji ulang tentang definisi Islam. Islam adalah agam ayang diturunkan Allah, batasan ini telah menutup rapat-rapat bagi agama lain yang tidak diturunkan Allah, seperti Hindu, Budha, Sikh, Kaharingan, dan lainnya. Tapi, apa cukup hanya disitu? Tidak. Karena agama yang diturunkan Allah ada tiga, yang akhirnya mereka namakan Yahudi, Nasrani dan Islam itu sendiri. Lalu batasan berikutnya untuk definisi Islam adalah ‘diturunkan kepada Nabi Muhammad’. Artinya agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud, Sulaiman, Musa Isa dan lainnya bukanlah Islam. Sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa Nabi Adam itu adalah seorang Muslim. Tapi, sebutan yang tepat untuk Nabi-nabi terdahulu adalah sebatas Mu’min, bukan Muslim.
            Kesamaan antara Nabi Muhammad dengan nabi-nabi terdahulu, adalah sam-sama menyebarkan agama tauhid yaitu mengesakan Allah Swt. Itu saja. Tapi untuk syari’at, Allah menurunkannya berbeda-beda. Kepada Nabi Musa, Allah menurunkan risalah –yang di kemudian hari dinamakan- Yahudi. Kepada Nabi Isa, Allah menurunkan risalah –yang di kemudian hari dinamakan- Nasrani. Dan kepada Nabi Muhammad, Allah menurunkan risalah Islam.
“Bagi tiap-tiap ummat, telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan,”
(TQS. Al-Hajj : 67)
            Itulah, saya sendiri sering sembarangan menyebut Muslim dan Mu’min, malahan kadang tidak lagi mempedulikan konteks. Hanya saja berharap tulisan ini dapat memberikan sesuatu wawasan baru agar tidak kembali salah paham. Dan semoga dengan ini pemahaman tentang Muslim dan Mu’min bisa lurus kembali. Amin.
            Sekian tulisan kali ini. Semoga Bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment