Sesuatu yang
jarang pulang siang hari, jadi ini adalah momen yang harus dimanfaatkan.
Sebelumnya pergi ke kantor pos untuk mengambil suatu kiriman penting, lalu
karena habis panas-panas sampai di kamar langsung tepar. Hehe... (Apa sih? Ndak
nyambung sama judulnya..>_<)
Sabar....^_^
Setelah istirahat, tiba-tiba ada
buku di rak yang menarik untuk saya baca. Buku itu ditulis oleh Abay dengan
judul “Menggenggam Bara Islam”. Bahasanya ringan, enak sekali dibaca sampai
tidak sadar tiba-tiba dari jendela, langit sudah tampak semakin gelap. Dari
beberapa halaman yang sudah saya baca, ada hal yang menarik dan saya angkat
menjadi judul tulisan kali ini karena saya sendiri sering salah memahaminya,
tentang perbedaan muslim dan Mu’min.
Pernah seorang teman saya mengatakan
bahwa dia hanyalah seorang muslim yang masih pada tingkatan muslim belum sampai
tingkatan Mu’min. Saat itu saya bingung dengan apa yang dia kemukakan,
alih-alih saya bertanya kembali malah menyimpulkan sendiri “Oh, Mu’min itu ada
pada tingkatan yang lebih atas dari pada muslim”, entah itu secara definisi
atau yang lainnya. Pemahaman awal saya muslim dan Mu’min malah sama saja. Saya
sendiri juga bingung. Dan kebingungan itu sedikit terjawab dengan pemaparan
dalam buku ini.
Sebelum detail membahas muslim dan Mu’min.
Penulis dalam buku tersebut juga mengutip analogi yang pernah dikemukakan oleh
Salim A.Fillah tentang status amal orang kafir.
“Orang beramal itu seperti
perlombaan berlari. Tentu saja setiap peserta memiliki nomor punggung atau
nomor dada. Ketika peluru sudah ditembakkan ke udara, semua peserta lari
sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ada seseorang yang berlari dengan sangat cepat,
bahkan mengalahkan yang lainnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nomor punggung.
Dengan kata lain, dia bukan peserta. Dan ternyata, lelaki yang tidak memiliki
nomor punggung itulah yang pertama kali sampai ke garis finish. Ya, dia
mengalahkan yang lainnya. Anggap saja Anda jurinya. Pertanyaannya, apakah Anda
akan memenangkan lelaki yang tidak bernomor punggung itu? Tentu tidak kan? Lha
wong dia tidak terdaftar, dia bukan peserta.”
Perumpamaan itu juga yang akhirnya sering
saya gunakan saat bercerita dengan beberapa teman saya. Perumpaan yang menarik
bukan? Analogi itu kembali menegaskan bahwa, ada pembeda antara amalan orang
kafir dan orang muslim. Apa bedanya? Bedanya terletak pada nomor punggung itu.
Nomor punggung pada analogi tersebut adalah Syahadah. Kesaksian bahwa “Tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadah itulah
pendaftarannya.
“Mereka
itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat
dan mereka sekali-sekali tidak memperoleh penolong.” (TQS. Ali ‘Imron : 22)
Masih tentang kesaksian. Ketika
seorang manusia telah bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dialah yang
kita sebut sebagai orang yang beriman alias Mu’min. Tapi tidak semua orang yang
beriman bisa dikatakan muslim. Mengapa? Sebab Muslim adalah sebutan khusus
orang islam saja. Tidak untuk yang lain.
Bingung? Mengapa harus bingung?
Tidak setiap Mu’min termasuk Muslim.
Bukankah pemahaman seperti ini sudah lazim di kalangan ulama-ulama terdahulu.
Justru sebuah kesalahan jika kita menyamakan antara Mu’min dengan Muslim karena
definisi Islam telah jelas, yaitu agama yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad, yang mengatur urusan manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan
dengan dirinya sendiri (Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan
Spiritual).
Dari defenisi tersebut, mari kita
mengkaji ulang tentang definisi Islam. Islam adalah agam ayang diturunkan
Allah, batasan ini telah menutup rapat-rapat bagi agama lain yang tidak
diturunkan Allah, seperti Hindu, Budha, Sikh, Kaharingan, dan lainnya. Tapi,
apa cukup hanya disitu? Tidak. Karena agama yang diturunkan Allah ada tiga,
yang akhirnya mereka namakan Yahudi, Nasrani dan Islam itu sendiri. Lalu
batasan berikutnya untuk definisi Islam adalah ‘diturunkan kepada Nabi Muhammad’.
Artinya agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud, Sulaiman, Musa Isa dan
lainnya bukanlah Islam. Sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa Nabi Adam itu
adalah seorang Muslim. Tapi, sebutan yang tepat untuk Nabi-nabi terdahulu
adalah sebatas Mu’min, bukan Muslim.
Kesamaan antara Nabi Muhammad dengan
nabi-nabi terdahulu, adalah sam-sama menyebarkan agama tauhid yaitu mengesakan
Allah Swt. Itu saja. Tapi untuk syari’at, Allah menurunkannya berbeda-beda.
Kepada Nabi Musa, Allah menurunkan risalah –yang di kemudian hari dinamakan-
Yahudi. Kepada Nabi Isa, Allah menurunkan risalah –yang di kemudian hari
dinamakan- Nasrani. Dan kepada Nabi Muhammad, Allah menurunkan risalah Islam.
“Bagi
tiap-tiap ummat, telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan,”
(TQS. Al-Hajj : 67)
(TQS. Al-Hajj : 67)
Itulah, saya sendiri sering
sembarangan menyebut Muslim dan Mu’min, malahan kadang tidak lagi mempedulikan
konteks. Hanya saja berharap tulisan ini dapat memberikan sesuatu wawasan baru
agar tidak kembali salah paham. Dan semoga dengan ini pemahaman tentang Muslim
dan Mu’min bisa lurus kembali. Amin.
Sekian tulisan kali ini. Semoga Bermanfaat.
0 komentar:
Post a Comment