HOME

Featured Post

Rindu Cahaya Islam kembali Membentangi Langit Eropa bahkan Dunia

oleh : Khaura El-Syada    Judul   : 99 Cahaya di Langit Eropa  Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga  Almahera  Penerbi...

'Sayang...Maaf, Aku Mencintainya'


Sayang..Maaf, aku mencintainya

            “Sayang, Maaf aku lebih mencintainya,” ucap Rara. Hari itu adalah hari ulang tahun Rara. Dan juga tepat setahun Rara dan Akbar jadian.
            “Rara, apa maksudmu? Ini masih pagi. Tiba-tiba kamu menelponku seperti ini,” Akbar sangat terkejut dengan ucapan Rara.
            “Aku benar-benar minta maaf. Aku lebih mencintainya bahkan dari dirimu. Sayang, dengarkan aku. Ini demi kebaikan kita berdua. Mungkin lebih baik kita tidak melanjutkan hubungan ini”
            “Maksudmu?”
            “Iya. Aku ingin kita putus.”
            “Sayang, kamu tidak serius kan? Ini kah kejutan yang kamu maksud?” Diam. Rara hanya bisa diam di seberang sana. Tak ada kata yang sanggup terucap.
            “Rara sayang, sebenarnya ada apa? Jika memang ada masalah di antara kita, tidak bisakah kita selesaikan baik-baik?”
            “Tidak, sayang. Tidak ada masalah kok. Aku akan menjelaskannya tapi tidak lewat telpon. Lihat saja saku jaketmu, aku tadi menaruh semua penjelasanku di situ. Sudah ya, aku tutup dulu”

            Akbar teringat, tadi saat dia berpamitan pulang dari rumah Rara, Rara sempat bilang kalau dia juga punya kejutan besar untuk Akbar hari ini. Akbar langsung sigap mengambil jaket yang dia gantung tepat di belakang pintu kamarnya itu. Jaket itu yang tadi dia pakai ke rumah Rara. Jaket biru hadiah dari Rara, yang dia pakai saat memberikan kejutan ulang tahun sekaligus hari jadi mereka tepat pukul 12 malam tadi, beberapa jam yang lalu. Ada secarik amplop berwarna merah muda di saku kiri jaket biru itu.

            Untukmu yang aku sayangi....
Assalamu’alaikum....
Akbar sayangku, 1 tahun yang lalu tepat pada tanggal ini kau memberiku kejutan terindah. Kau datang membawa sejuta kasih sayang. Dan kau berhasil membuatku terpesona.
Akbar sayangku, Maaf jika tepat pada tanggal ini juga kita harus mengakhiri segalanya. Karena aku lebih memilih Dia. Bukan karena ada masalah di antara kita. Bukan pula karena jarak yang memisahkan kita. Bukan, tapi karena Dia, yang sangat aku cintai.
Akbar sayangku, besok adalah bulan Ramadhan. Aku ingin, kita dapat melewati setiap episode ke depannya dengan cinta yang baru. Nanti bukan hanya aku yang mencintai Dia tapi juga dirimu.
Akbar, aku memang bukan santri ataupun ‘akhwat sejati’, tapi sekarang aku mulai mengerti. Ini bukan ikatan suci, ini bukan jalan yang benar untuk saling menyayangi. Jika dua insan saling mencintai, maka pernikahan adalah solusi, yaitu sebuah ikatan suci bukan yang seperti ini.
Akbar, Maaf. Maaf atas segala salahku padamu selama ini. Semoga ke depannya nanti aku dan kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sholeh. Semoga Allah tidak murka kepadaku dan kepada dirimu.
Akbar, hanya ini sekelumit penjelasan yang bisa aku berikan. Sebungkus do’a ku untukmu, agar kau bisa menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.
Terima kasih untuk semuanya.
            Salamku
-          Rara -
            Akbar terduduk, merenung. Sekelebat memori kembali terlintas, 1 tahun yang lalu, saat Dia jauh-jauh datang ke tempat Rara untuk mengutarakan perasaanya, disitulah kisah bermula. 1 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Akbar bingung, entah apa yang harus dilakukan. Dia kembali melihat layar Hp-nya. Ada nama di kontak yang sudah tersimpan lama bahkan lebih dari 1 tahun, nama itu ‘..Raraku Sayang ^^..’
***
            Rara terdiam di kamar. Memandangi boneka Beruang besar dan sebuah foto berbingkai, foto Rara dan almarhum kakak, hadiah ulang tahunnya dari Akbar. Baru saja tadi malam, dia mendapat kejutan dari Akbar. Sebuah kue ulang tahun besar bertuliskan ‘Selamat Ulang tahun, Rara sayang’.
            Hangat. Bulir air mata itu menetes pelan di pipi Rara. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi tekadnya sudah bulat. Ini hanya kebahagiaan fatamorgana, Rara tau pasti ada episode yang lebih membahagiakan nanti. Rara melihat layar Hp-nya. Ada nama yang tersimpan baik di kontak, bahkan nomernya pun sangat Ia hafal, nama itu ‘..Akbarku Sayang..^^’
***
            Rara bukan anak tunggal sebenarnya. Tapi sebuah kecelakaan besar telah merenggut nyawa kakak laki-laki yang sangat dia sayangi. Karan, sosok tegap yang sangat menyayangi Rara itu telah lebih dulu pergi menghadapNya. Karan selalu memanjakan Rara. Usia mereka tidak terpaut begitu jauh, hanya selisih 2 tahun. Setiap ada masalah Rara selalu bercerita kepada Karan. Karan, tidak hanya sebagai sosok kakak bagi Rara, tapi juga sahabat.
            Sejak kecil, mereka tidak pernah terpisah. Namun, berbeda saat bangku kuliah, Rara dan Karan memiliki pilihan yang berbeda. Walau begitu, jarak bukan masalah besar bagi mereka. Karan sering mengunjungi Rara, memberikan kejutan-kejutan kecil. Karan sangat melindungi adik kecilnya itu, bahkan saat Akbar dulu jadian dengan Rara, Karan sempat memberikan tes kepada Akbar. ‘Tes kesungguhan’, kata Karan. Tes yang berhasil membuat gelagapan Akbar waktu itu.
            Perjalanan Karan begitu singkat, itulah misteri umur. Tidak ada seorangpun yang tau kapan berakhirnya umur seseorang. Karan telah pergi terlebih dulu, meninggalkan kefanaan dunia, dan segala yang fatamorgana menjadi segala yang nyata dan abadi. Semasa hidupnya Karan begitu baik memerankan sosoknya sebagai kakak dan juga anak yang berbakti. Rara sangat terpukul, dia tidak lagi mempunyai sosok kakak terhebat, sosok kakak terbaik dalam hidupnya. Berhari-hari Rara mengurung diri di kamar Karan, Ayah dan Ibu Rara sampai kehabisan akal untuk mengembalikan senyuman Rara.
            Saat itulah, kehadiran Akbar sangat berarti bagi Rara. Sosok Karan mungkin tidak akan pernah terganti. Tapi, Akbar selalu bisa mengisi kekosongan hati Rara. Perlahan Rara memulai episode-episode baru tanpa kakak tersayang.
            Itulah yang menjadi alasan Akbar memberi Rara hadiah bingkai foto antara Rara dan Almarhum Karan. Karena keduanya sangat akrab. Foto itu diambil saat mereka jalan bertiga ke Taman Kota. Foto itu adalah foto terakhir Rara dan Karan sebelum kecelakaan. Sudah lama Akbar ingin memberikan foto itu, tapi dia menunggu saat yang tepat. Saat Rara sudah tidak semanja dulu, saat Rara sekarang sudah lebih bijak dalam menghadapi masalahnya, saat Rara benar-benar bisa menerima kepergian kakaknya, Karan.
***
            Butuh waktu lama bagi Akbar untuk mencerna kembali seluruh kata-kata dalam surat itu. Seakan-akan ada rekaman film masa lalu yang juga terus berputar di depannya. Tidak, Akbar tidak menyalahkan Rara. Akbar merasa telat menyadari bahwa Rara sekarang benar-benar telah dewasa. Dia selalu menganggap Rara masih manja seperti dulu, seperti saat menjelang pagi tadi merayakan ulangtahun Rara, Rara tak seheboh dulu. Rara tak seantusias dulu yang bahkan bisa berteriak manja sambil menggaet lengannya saat mendapat kejutan dari Akbar.
            Pening. Akbar merasa kamarnya berputar, mungkin ini efek begadang menyiapkan kejutan untuk Rara, bahkan hampir 2 malam tidak pulas mendengkur seperti biasa. Akhirnya Akbar kembali tertidur.
***
            Karan mengetuk pintu kamar Akbar seperti biasa.
            “Bangun, boy. Sudah siang!!,” Karan berteriak kencang.
            Akbar dengan malas-malasan membukakan pintu untuk Karan. Wajahnya masih kusut, bajunya pun acak-adul tak karuan.
            “Dasarrr!! Tidak malu sama matahari yang bangun lebih dulu. Sadar, boy,” Karan menepuk-nepuk pundak Akbar dan kemudian duduk di sofa dekat kasur sambil mengeluarkan isi tasnya.
            “Iya, iya. Ini juga sudah melek. Ada apa? Tumben pagi-pagi sudah nyasar di sini? ”
            “Tidak ada. Aku hanya ingin memberimu ini” Karan menyodorkan sebuah kotak persegi, jika dilihat seperti kotak jam.
            “Apa ini?”
            “Ini barang bagus. Jaga baik-baik. Jika rusak kamu sendiri yang rugi!! Awas lo. Adanya cuman satu di dunia!”
            “iye iye, abang ipar,” Akbar nyengir sambil berusaha membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah gelang huruf dengan nama ‘Rara’. Tiba-tiba...
Ding Dong..Ding Dong..Ding Dong..
            Suara alarm Akbar berbunyi membangunkan sang empu kamar. Tak lama kemudian suara adzan Dzuhur pun berkumandang. Akbar memicingkan mata, silau karena cahaya matahari siang itu mengintip melalui jendela kamarnya. Belum sepenuhnya Akbar terbangun, dia menengok mencari-cari sosok Karan. Dalam waktu sepersekian detik, dia tersadar itu hanya mimpi. Astaghfirullah...
            Sholat Dzuhur menenangkan hatinya. Akbar kembali melihat surat dari Rara. Akbar duduk dan mulai merenung. Tak lama kemudian dia mengganti bajunya dengan baju rapi, dia menyambar jaket biru kesayangannya dan berangkat ke rumah Rara.
            “Assalamu’alaikum. Ra, aku sudah di depan rumahmu.”
            “Wa’alaikumsalam. Haa??ada apa?kok kamu datang ke sini tiba-tiba?”
            “Ada yang harus aku omongin sebentar, masalah kejutan dari kamu tadi pagi”
            “Kan bisa diomongin di telpon aja to..”
            “Nggak bisa, aku lebih enak ngomong empat mata sama kamu”
            “Ya suda kalo gitu, tunggu sebentar”
            Rara langsung menutup telponnya. Akbar duduk di teras depan lama, menunggu Rara.
            Pintu berderit, sosok Rara muncul ditemani ibunya. Namun kali ini berbeda, seperti bukan sosok Rara yang biasa. Rara menggunakan kerudung panjang plus gamis berwarna hijau. Sesaat Akbar terdiam, terkejut akan apa yang dia lihat sekarang. Lagi, Ada kejutan baru dari Rara. Butuh waktu sepersekian detik untuk kembali melihat sosok Rara yang nyata sedang duduk pas di hadapannya.
            “Akbar, cepat katakan. Katanya mau ngomong sesuatu, kok kamu bengong sih”
            “Maklum. Nak Akbar masih sedikit kaget, ra. Ngelihat kamu kok tambah cantik” Goda ibu Rara.
            “Maaf, saya terkejut,” Akbar berkata jujur sambil mengulum senyum.
            “Tante, Rara. Saya sudah memutuskan sejak sebelum berangkat ke sini dan kini keputusan saya semakin mantap,” lanjut Akbar.
            “Maksud kamu apa?” Sahut Rara.
            “Jika kamu ingin hubungan antara kita berakhir, maka aku ingin hubungan di antara kita dimulai” Sesaat Akbar terdiam, kemudian kembali menatap Rara yang mulai gelisah. Ibunda Rara berusaha menenangkan.
            “Aku ingin hubungan di antara kita dimulai dengan pernikahan. Apa kamu siap jika aku melamarmu dalam waktu dekat ini?”
            Kini berbalik, Rara yang terkejut. Rara terdiam, rasanya senang luar biasa. Tapi, tak ada kata yang sanggup dia ucapkan. Bibirnya terkatup rapat. Ibunda Rara mengulum senyum. Antara senang dan gelisah, karena itu berarti dia akan melepas Rara, anak sematawayangnya ini.
            “Rara, aku serius. Memang tabunganku tidak banyak. Tapi Insya Allah cukup. Dan kedepannya nanti, aku yakin rizki tidak akan kemana”
            “Nak Akbar benar serius? Pernikahan kan bukan semata ingin, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,” Ibunda Rara menimpali ucapan Akbar kepada Rara. Karena ini bersangkutan dengan masa depan putrinya, Rara.
            “Iya, Tante. Insya Alah. Saya sudah memantapkan hati saya. Jikalau nanti Rara siap, saya akan langsung menguhubungi Ayah dan Ibu agar segera melamar Rara secara resmi ke sini”
            “Ya sudah. Kalau Ibu terserah Rara saja. Ayah Rara nanti juga pasti akan mendukung demi kebahagiaan putri yang satu ini. Gimana, nduk?” Ibunya menatap Rara hangat sambil mengelus pundaknya, pelan.
            “Aku...” Rara terdiam, tidak sanggup mengucapkan kata-kata lagi. Tiba-tiba sebulir air mata menetes pelan. Hari ini terlalu banyak kejutan untuknya. Di dalam hati, tak henti dia ucapkan syukur kepada Maha Pemberi Kejutan yang telah memberi warna tersendiri untuk hari ulang tahunnya ini. Rara pun mengangguk pelan, mengiyakan.
***
           

3 komentar:

  1. Pertamax....
    he...
    good story.. (.^^)b

    Sdikit usul y nduk...
    lain kali bikin yang lbih islam ideologis ya....
    jngan skedar yang tentang ijtima'inya adza tapi sisi lainnya jga... yup...
    terus berkarya....
    heu..

    ReplyDelete
  2. hehe....iya iya....
    masih dalam proses menulis karya yg lebih ideologis ne.... :D

    Makasih lho masukannya... :)

    ReplyDelete