Sayang..Maaf,
aku mencintainya
“Sayang, Maaf aku lebih mencintainya,”
ucap Rara. Hari itu adalah hari ulang tahun Rara. Dan juga tepat setahun Rara
dan Akbar jadian.
“Rara, apa maksudmu? Ini masih pagi.
Tiba-tiba kamu menelponku seperti ini,” Akbar sangat terkejut dengan ucapan
Rara.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku
lebih mencintainya bahkan dari dirimu. Sayang, dengarkan aku. Ini demi kebaikan
kita berdua. Mungkin lebih baik kita tidak melanjutkan hubungan ini”
“Maksudmu?”
“Iya. Aku ingin kita putus.”
“Sayang, kamu tidak serius kan? Ini
kah kejutan yang kamu maksud?” Diam. Rara hanya bisa diam di seberang sana. Tak
ada kata yang sanggup terucap.
“Rara sayang, sebenarnya ada apa?
Jika memang ada masalah di antara kita, tidak bisakah kita selesaikan
baik-baik?”
“Tidak, sayang. Tidak ada masalah
kok. Aku akan menjelaskannya tapi tidak lewat telpon. Lihat saja saku jaketmu,
aku tadi menaruh semua penjelasanku di situ. Sudah ya, aku tutup dulu”
Akbar teringat, tadi saat dia
berpamitan pulang dari rumah Rara, Rara sempat bilang kalau dia juga punya
kejutan besar untuk Akbar hari ini. Akbar langsung sigap mengambil jaket yang
dia gantung tepat di belakang pintu kamarnya itu. Jaket itu yang tadi dia pakai
ke rumah Rara. Jaket biru hadiah dari Rara, yang dia pakai saat memberikan
kejutan ulang tahun sekaligus hari jadi mereka tepat pukul 12 malam tadi,
beberapa jam yang lalu. Ada secarik amplop berwarna merah muda di saku kiri
jaket biru itu.
Untukmu yang aku
sayangi....
Assalamu’alaikum....
Akbar
sayangku, 1 tahun yang lalu tepat pada tanggal ini kau memberiku kejutan
terindah. Kau datang membawa sejuta kasih sayang. Dan kau berhasil membuatku
terpesona.
Akbar
sayangku, Maaf jika tepat pada tanggal ini juga kita harus mengakhiri
segalanya. Karena aku lebih memilih Dia. Bukan karena ada masalah di antara
kita. Bukan pula karena jarak yang memisahkan kita. Bukan, tapi karena Dia,
yang sangat aku cintai.
Akbar
sayangku, besok adalah bulan Ramadhan. Aku ingin, kita dapat melewati setiap
episode ke depannya dengan cinta yang baru. Nanti bukan hanya aku yang
mencintai Dia tapi juga dirimu.
Akbar,
aku memang bukan santri ataupun ‘akhwat sejati’, tapi sekarang aku mulai
mengerti. Ini bukan ikatan suci, ini bukan jalan yang benar untuk saling
menyayangi. Jika dua insan saling mencintai, maka pernikahan adalah solusi,
yaitu sebuah ikatan suci bukan yang seperti ini.
Akbar,
Maaf. Maaf atas segala salahku padamu selama ini. Semoga ke depannya nanti aku
dan kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sholeh. Semoga Allah tidak
murka kepadaku dan kepada dirimu.
Akbar,
hanya ini sekelumit penjelasan yang bisa aku berikan. Sebungkus do’a ku
untukmu, agar kau bisa menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.
Terima
kasih untuk semuanya.
Salamku
-
Rara -
Akbar terduduk, merenung. Sekelebat
memori kembali terlintas, 1 tahun yang lalu, saat Dia jauh-jauh datang ke
tempat Rara untuk mengutarakan perasaanya, disitulah kisah bermula. 1 tahun
bukanlah waktu yang sebentar. Akbar bingung, entah apa yang harus dilakukan.
Dia kembali melihat layar Hp-nya. Ada nama di kontak yang sudah tersimpan lama
bahkan lebih dari 1 tahun, nama itu ‘..Raraku Sayang ^^..’
***
Rara terdiam di kamar. Memandangi
boneka Beruang besar dan sebuah foto berbingkai, foto Rara dan almarhum kakak,
hadiah ulang tahunnya dari Akbar. Baru saja tadi malam, dia mendapat kejutan
dari Akbar. Sebuah kue ulang tahun besar bertuliskan ‘Selamat Ulang tahun, Rara
sayang’.
Hangat. Bulir air mata itu menetes
pelan di pipi Rara. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi tekadnya sudah
bulat. Ini hanya kebahagiaan fatamorgana, Rara tau pasti ada episode yang lebih
membahagiakan nanti. Rara melihat layar Hp-nya. Ada nama yang tersimpan baik di
kontak, bahkan nomernya pun sangat Ia hafal, nama itu ‘..Akbarku Sayang..^^’
***
Rara bukan anak tunggal sebenarnya.
Tapi sebuah kecelakaan besar telah merenggut nyawa kakak laki-laki yang sangat
dia sayangi. Karan, sosok tegap yang sangat menyayangi Rara itu telah lebih
dulu pergi menghadapNya. Karan selalu memanjakan Rara. Usia mereka tidak
terpaut begitu jauh, hanya selisih 2 tahun. Setiap ada masalah Rara selalu
bercerita kepada Karan. Karan, tidak hanya sebagai sosok kakak bagi Rara, tapi
juga sahabat.
Sejak kecil, mereka tidak pernah
terpisah. Namun, berbeda saat bangku kuliah, Rara dan Karan memiliki pilihan
yang berbeda. Walau begitu, jarak bukan masalah besar bagi mereka. Karan sering
mengunjungi Rara, memberikan kejutan-kejutan kecil. Karan sangat melindungi
adik kecilnya itu, bahkan saat Akbar dulu jadian dengan Rara, Karan sempat
memberikan tes kepada Akbar. ‘Tes kesungguhan’, kata Karan. Tes yang berhasil
membuat gelagapan Akbar waktu itu.
Perjalanan Karan begitu singkat,
itulah misteri umur. Tidak ada seorangpun yang tau kapan berakhirnya umur
seseorang. Karan telah pergi terlebih dulu, meninggalkan kefanaan dunia, dan
segala yang fatamorgana menjadi segala yang nyata dan abadi. Semasa hidupnya Karan
begitu baik memerankan sosoknya sebagai kakak dan juga anak yang berbakti. Rara
sangat terpukul, dia tidak lagi mempunyai sosok kakak terhebat, sosok kakak
terbaik dalam hidupnya. Berhari-hari Rara mengurung diri di kamar Karan, Ayah
dan Ibu Rara sampai kehabisan akal untuk mengembalikan senyuman Rara.
Saat itulah, kehadiran Akbar sangat
berarti bagi Rara. Sosok Karan mungkin tidak akan pernah terganti. Tapi, Akbar
selalu bisa mengisi kekosongan hati Rara. Perlahan Rara memulai episode-episode
baru tanpa kakak tersayang.
Itulah yang menjadi alasan Akbar
memberi Rara hadiah bingkai foto antara Rara dan Almarhum Karan. Karena
keduanya sangat akrab. Foto itu diambil saat mereka jalan bertiga ke Taman
Kota. Foto itu adalah foto terakhir Rara dan Karan sebelum kecelakaan. Sudah
lama Akbar ingin memberikan foto itu, tapi dia menunggu saat yang tepat. Saat
Rara sudah tidak semanja dulu, saat Rara sekarang sudah lebih bijak dalam
menghadapi masalahnya, saat Rara benar-benar bisa menerima kepergian kakaknya,
Karan.
***
Butuh waktu lama bagi Akbar untuk
mencerna kembali seluruh kata-kata dalam surat itu. Seakan-akan ada rekaman
film masa lalu yang juga terus berputar di depannya. Tidak, Akbar tidak
menyalahkan Rara. Akbar merasa telat menyadari bahwa Rara sekarang benar-benar
telah dewasa. Dia selalu menganggap Rara masih manja seperti dulu, seperti saat
menjelang pagi tadi merayakan ulangtahun Rara, Rara tak seheboh dulu. Rara tak
seantusias dulu yang bahkan bisa berteriak manja sambil menggaet lengannya saat
mendapat kejutan dari Akbar.
Pening. Akbar merasa kamarnya
berputar, mungkin ini efek begadang menyiapkan kejutan untuk Rara, bahkan
hampir 2 malam tidak pulas mendengkur seperti biasa. Akhirnya Akbar kembali
tertidur.
***
Karan mengetuk pintu kamar Akbar
seperti biasa.
“Bangun, boy. Sudah siang!!,” Karan
berteriak kencang.
Akbar dengan malas-malasan
membukakan pintu untuk Karan. Wajahnya masih kusut, bajunya pun acak-adul tak
karuan.
“Dasarrr!! Tidak malu sama matahari
yang bangun lebih dulu. Sadar, boy,” Karan menepuk-nepuk pundak Akbar dan
kemudian duduk di sofa dekat kasur sambil mengeluarkan isi tasnya.
“Iya, iya. Ini juga sudah melek.
Ada apa? Tumben pagi-pagi sudah nyasar di sini? ”
“Tidak ada. Aku hanya ingin
memberimu ini” Karan menyodorkan sebuah kotak persegi, jika dilihat seperti
kotak jam.
“Apa ini?”
“Ini barang bagus. Jaga baik-baik.
Jika rusak kamu sendiri yang rugi!! Awas lo. Adanya cuman satu di dunia!”
“iye iye, abang ipar,” Akbar nyengir
sambil berusaha membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah gelang
huruf dengan nama ‘Rara’. Tiba-tiba...
Ding Dong..Ding
Dong..Ding Dong..
Suara
alarm Akbar berbunyi membangunkan sang empu kamar. Tak lama kemudian suara
adzan Dzuhur pun berkumandang. Akbar memicingkan mata, silau karena cahaya
matahari siang itu mengintip melalui jendela kamarnya. Belum sepenuhnya Akbar
terbangun, dia menengok mencari-cari sosok Karan. Dalam waktu sepersekian
detik, dia tersadar itu hanya mimpi. Astaghfirullah...
Sholat Dzuhur menenangkan hatinya.
Akbar kembali melihat surat dari Rara. Akbar duduk dan mulai merenung. Tak lama
kemudian dia mengganti bajunya dengan baju rapi, dia menyambar jaket biru
kesayangannya dan berangkat ke rumah Rara.
“Assalamu’alaikum. Ra, aku sudah di
depan rumahmu.”
“Wa’alaikumsalam. Haa??ada apa?kok
kamu datang ke sini tiba-tiba?”
“Ada yang harus aku omongin
sebentar, masalah kejutan dari kamu tadi pagi”
“Kan bisa diomongin di telpon aja to..”
“Nggak bisa, aku lebih enak ngomong
empat mata sama kamu”
“Ya suda kalo gitu, tunggu sebentar”
Rara langsung menutup telponnya. Akbar
duduk di teras depan lama, menunggu Rara.
Pintu berderit, sosok Rara muncul
ditemani ibunya. Namun kali ini berbeda, seperti bukan sosok Rara yang biasa.
Rara menggunakan kerudung panjang plus gamis berwarna hijau. Sesaat Akbar
terdiam, terkejut akan apa yang dia lihat sekarang. Lagi, Ada kejutan baru dari
Rara. Butuh waktu sepersekian detik untuk kembali melihat sosok Rara yang nyata
sedang duduk pas di hadapannya.
“Akbar, cepat katakan. Katanya mau
ngomong sesuatu, kok kamu bengong sih”
“Maklum. Nak Akbar masih sedikit
kaget, ra. Ngelihat kamu kok tambah cantik” Goda ibu Rara.
“Maaf, saya terkejut,” Akbar berkata
jujur sambil mengulum senyum.
“Tante, Rara. Saya sudah memutuskan
sejak sebelum berangkat ke sini dan kini keputusan saya semakin mantap,” lanjut
Akbar.
“Maksud kamu apa?” Sahut Rara.
“Jika kamu ingin hubungan antara
kita berakhir, maka aku ingin hubungan di antara kita dimulai” Sesaat Akbar
terdiam, kemudian kembali menatap Rara yang mulai gelisah. Ibunda Rara berusaha
menenangkan.
“Aku ingin hubungan di antara kita
dimulai dengan pernikahan. Apa kamu siap jika aku melamarmu dalam waktu dekat
ini?”
Kini berbalik, Rara yang terkejut.
Rara terdiam, rasanya senang luar biasa. Tapi, tak ada kata yang sanggup dia
ucapkan. Bibirnya terkatup rapat. Ibunda Rara mengulum senyum. Antara senang
dan gelisah, karena itu berarti dia akan melepas Rara, anak sematawayangnya
ini.
“Rara, aku serius. Memang tabunganku
tidak banyak. Tapi Insya Allah cukup. Dan kedepannya nanti, aku yakin rizki
tidak akan kemana”
“Nak Akbar benar serius? Pernikahan
kan bukan semata ingin, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,” Ibunda Rara
menimpali ucapan Akbar kepada Rara. Karena ini bersangkutan dengan masa depan
putrinya, Rara.
“Iya, Tante. Insya Alah. Saya sudah
memantapkan hati saya. Jikalau nanti Rara siap, saya akan langsung menguhubungi
Ayah dan Ibu agar segera melamar Rara secara resmi ke sini”
“Ya sudah. Kalau Ibu terserah Rara
saja. Ayah Rara nanti juga pasti akan mendukung demi kebahagiaan putri yang
satu ini. Gimana, nduk?” Ibunya menatap Rara hangat sambil mengelus
pundaknya, pelan.
“Aku...” Rara terdiam, tidak sanggup
mengucapkan kata-kata lagi. Tiba-tiba sebulir air mata menetes pelan. Hari ini
terlalu banyak kejutan untuknya. Di dalam hati, tak henti dia ucapkan syukur
kepada Maha Pemberi Kejutan yang telah memberi warna tersendiri untuk hari
ulang tahunnya ini. Rara pun mengangguk pelan, mengiyakan.
***
Pertamax....
ReplyDeletehe...
good story.. (.^^)b
Sdikit usul y nduk...
lain kali bikin yang lbih islam ideologis ya....
jngan skedar yang tentang ijtima'inya adza tapi sisi lainnya jga... yup...
terus berkarya....
heu..
hehe....iya iya....
ReplyDeletemasih dalam proses menulis karya yg lebih ideologis ne.... :D
Makasih lho masukannya... :)
current (keren,red). .hagz. .
ReplyDelete